Selasa, 12 Januari 2016

PEREMPUAN DAN OTONOMI DAEREAH

penerapan hukum syariat syariat Islam dalam otonomi daerah perlu dikhawatirkan? Agaknya kita haruslah berhati-hati menanggapinya, karena pertama, isu itu bisa sarat dengan muatan politis dari kelompok kepentingan politik tertentu. Kedua, belum jelas bagaimana konsep hubungan sosial baik intra komunitas Islam maupun antar komunitas lintas agama dan budaya. Ketiga, bila kembali kepada pengertian dasarnya yakni "jalan yang benar", maka sebenarnya hal itu takperlu dirisaukan. Hanya yang kemudian menjadi masalah adalah siapa yang menentukanakan  "jalan kebenaran"tersebut. Bila tafsir atas jalan kebenaran yang pada akhirnya akan diwujudkan dalamsuatu bentuk kebijakan yang berangkat dari kondisi budaya dan politik seperti digambarkan diatas, dapat diprediksi pada masa yang akan datang akan selalu terjadi bias pada dominasi laki-laki yang elitis.
Untuk menyikapi berbagai permasalahan di atas perempuan pada akhirnya harus menentukan sikap akan seperti apa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam otonomi daerah saat ini. Sikapperempuan itu sendiriakan sangat menententukan derajat kesadaran perempuan itu sendiri. Dalam konteks ini akan banyak kemungkinan yang terjadi, pertama, di dalam suatu masyarakat daerah yang gerakan HAM-nya marak dilakukan, termasuk didalamnya menyentuh aspek substansial posisi perempuan, maka akan terjadi dinamika yang memungkinkan terakomodasinya kepentingan perempuan dalam kebijakan yang berkaitan dengan syariat Islam. Kedua, dalam masyarakat daerah otonom yang dominasi budaya lokalnya yang masih sangat kental dan tidak ada gerakan HAM secara langsung, maka kaum perempuan hanya akan menerima segala keputusan politik (kebijakan) yang dibuat tanpa dapat memperjuangkannya lebih jauh.
Kemungkinan kedua menjadi kemungkinanyang paling besar peluangnya akan terjadi, mengingat daerah-daerah di Indonesia pada umumnya masih sangat jauh dari sentuhan langsung penyadaran hak asasi manusia, hal yang paling mendasar sebenarnya bahwa apa pun produk suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu daerah otonom, tidak perlu dikhawatirkan apabila kebijakan tersebut merupakan produk yang demokratis dan memang dutujukan untuk kepentingan masyarakat pada daerah otonom itu sendiri. Memang sekarang ini, termasuk (rancangan) Peraturan Daerah yang membatasi hak perempuan di Sumatera Barat misalnya, lebih mengekspresikan kepentingan elite pada pemerintahan daerah tersebut, karena prosesnya tidak berdasar kebutuhan elemen masyarakat sebagai stake holders lokal, melainkan lebih berdasar kesepakatan para elite politik.
Terdapat beberapa hal  yang perlu diperjuangkan oleh kaum perempuan diantaranya adalah mencoba mengembangkan kesadaran pada masyarakat bahwa proses pengambilan kebijakan pada tingkat lokal haruslah melibatkan semua elemen yang ada. Kemudian harus adanya pembangunan kesadaran semua lapisan masyarakat bahwa perempuan merupakan elemen masyarakat yangmenjadi pilar utama dalam membangun demokrasi lokal. Karena itu,aspirasi perempuan harus menjadi pertimbangan utama dalam proses pengambilan suatu kebijakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar