penerapan hukum syariat
syariat Islam dalam otonomi daerah perlu dikhawatirkan? Agaknya kita haruslah berhati-hati menanggapinya, karena pertama, isu itu bisa sarat dengan muatan politis dari kelompok kepentingan politik tertentu. Kedua, belum jelas
bagaimana konsep hubungan sosial baik intra komunitas Islam maupun antar komunitas
lintas agama dan budaya. Ketiga, bila kembali kepada pengertian dasarnya yakni "jalan yang benar", maka sebenarnya hal
itu takperlu dirisaukan. Hanya yang kemudian menjadi masalah adalah siapa yang menentukanakan
"jalan kebenaran"tersebut. Bila tafsir atas jalan kebenaran yang pada
akhirnya akan diwujudkan dalamsuatu bentuk kebijakan yang berangkat dari
kondisi budaya dan politik seperti digambarkan diatas, dapat diprediksi pada
masa yang akan datang akan selalu terjadi bias pada dominasi laki-laki yang
elitis.
Untuk menyikapi berbagai
permasalahan di atas perempuan pada akhirnya harus menentukan sikap akan
seperti apa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam otonomi daerah saat
ini. Sikapperempuan itu sendiriakan
sangat menententukan derajat kesadaran perempuan itu sendiri. Dalam
konteks ini akan banyak kemungkinan yang terjadi, pertama, di dalam
suatu masyarakat daerah yang gerakan HAM-nya marak dilakukan, termasuk
didalamnya menyentuh aspek substansial posisi perempuan, maka akan terjadi dinamika
yang memungkinkan terakomodasinya kepentingan perempuan dalam kebijakan yang
berkaitan dengan syariat Islam. Kedua, dalam masyarakat daerah otonom
yang dominasi budaya lokalnya yang masih sangat kental dan tidak ada gerakan
HAM secara langsung, maka kaum perempuan hanya akan menerima segala keputusan
politik (kebijakan) yang dibuat tanpa dapat memperjuangkannya lebih jauh.
Kemungkinan kedua menjadi
kemungkinanyang paling besar peluangnya akan terjadi, mengingat daerah-daerah
di Indonesia pada umumnya masih sangat jauh dari sentuhan langsung penyadaran
hak asasi manusia, hal yang paling mendasar sebenarnya bahwa apa pun produk
suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu daerah otonom, tidak perlu
dikhawatirkan apabila kebijakan tersebut merupakan produk yang demokratis dan
memang dutujukan untuk kepentingan masyarakat pada daerah otonom itu sendiri. Memang sekarang ini, termasuk (rancangan) Peraturan Daerah yang membatasi hak perempuan di
Sumatera Barat misalnya, lebih mengekspresikan kepentingan elite pada
pemerintahan daerah tersebut, karena prosesnya tidak berdasar kebutuhan elemen masyarakat sebagai stake holders lokal, melainkan lebih berdasar kesepakatan para elite politik.
Terdapat beberapa hal yang
perlu diperjuangkan oleh kaum perempuan diantaranya adalah mencoba mengembangkan
kesadaran pada masyarakat bahwa proses pengambilan kebijakan pada tingkat lokal
haruslah melibatkan semua elemen yang ada. Kemudian harus adanya pembangunan kesadaran semua lapisan masyarakat bahwa
perempuan merupakan elemen masyarakat yangmenjadi pilar utama dalam membangun
demokrasi lokal. Karena itu,aspirasi perempuan harus menjadi pertimbangan utama dalam proses pengambilan suatu
kebijakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar