SATU
PENGANTAR CARA BERPIKIR DASAR
DAFTAR
ISI
I..... PENDAHULUAN
1.... Apakah Filsafat Itu? ......................................................................................................... 1
2. Masalah Terpokok dalam Filsafat..................................................................................... 2
3. Titik Pandang, Metode Berpikir dan Asal-usul
Kelas dalam Masyarakat........................ 4
II. MATERIALISME DIALEKTIS
1. Latar Belakang Sejarah Materialisme
Dialektis................................................................. 5
2. Dunia Kenyataan yang Objektif....................................................................................... 6
3. Dunia Kenyataan yang Objektif yang Merupakan
Suatu Kesatuan yang Organik........... 7
4. Dunia Kenyataan yang Objektif yang Semakin
Bergerak dan Berkembang.................... 8
III.
DIALEKTIKA MATERIALISME
1. Hukum Dialektika dan Metoda Dialektika....................................................................... 8
2. Hukum Umum Dialektika Pertama: Kesatuan dari
Segi yang Berlawanan...................... 9
a. Pengertian Kontradiksi................................................................................................. 9
b.
Keumuman
Kontradiksi............................................................................................... 9
c.
Kekhususan
Kontradiksi.............................................................................................. 9
d.
Kontradiksi
Dasar......................................................................................................... 10
e.
Kontradiksi
Pokok atau Kontradiksi Utama................................................................ 10
f.
Mutasi........................................................................................................................... 10
g.
Kedudukan
Dua Segi dalam Kontradiksi.................................................................... 10
h.
Kesatuan
Relatif, Pertentangan Mutlak....................................................................... 11
i.
Antagonisme................................................................................................................. 11
3.
Hukum Umum Dialektika Kedua: Perubahan
Kuantitatif ke Perubahan Kualitatif......... 11
a.
Pengertian
tentang Kuantitas....................................................................................... 11
b.
Pengertian
tentang Kualitas.......................................................................................... 12
c.
Perubahan
Kuantitatif.................................................................................................. 12
d.
Perubahan
Kualitatif..................................................................................................... 13
Materialisme Dialektika......................................................................................................... 15
1.. Inter-koneksi atau saling hubungan.............................................................................. 15
2.. Materi........................................................................................................................... 15
3.. Kontradiksi................................................................................................................... 16
4.. Kuantitas ke dalam kualitas.......................................................................................... 16
Relevansi
pertarungan antara Dialektika dan Metafisika dengan Perjuangan Kelas........ 17
Kesimpulan........................................................................................................................ 17
Ringkasan
MD.................................................................................................................. 17
I. PENDAHULUAN
I. PENDAHULUAN
1. Apakah Filsafat itu?
Banyak
orang mengira bahwa filsafat itu tidak dapat atau sulit dimengerti oleh rakyat
biasa, dan merupakan salah satu mata kuliah yang paling sulit dan abstrak di
dalam perguruan tinggi. Dengan kata lain, filsafat itu di pandang sebagai
sesuatu yang tak ada atau sedikit sekali hubungannya dengan kehidupan manusia
sehari-hari. Padahal tidak demikian. Pada setiap hari dapat kita jumpai
jejak-jejak atau potongan-potongan pikiran filsafat.
Si
A yang sudah puluhan tahun merantau di luar negeri pada suatu waktu berkenan
untuk pulang ke tanah air Indonesia. Begitu tiba di Jakarta ia dikejutkan
dengan wajah betawi yang baru sama sekali baginya, sehingga ia tidak mengenali
lagi kampung-kampung yang ia tempati puluhan tahun yang lalu. Jalan-jalan kini
lebar-lebar dan licin, bermalang melintang dan penuh dengan berbagai kendaraan
bermotor yang membisingkan, gedung-gedung pencakar langit pun menjulang di
sana-sini dengan aneka lampu neon yang memberikan pandangan indah pada malam
hari, banyak pusat pusat perbelanjaan, Super market atau plaza di samping pasar
loak dan kaki lima. Pendek kata, betawi sekarang tidak jauh beda dengan
kota-kota besar di Eropa dan Amerika sana, walaupun nampak sangat jorok dengan
tumpukan sampah di mana-mana, yang tak pernah dijumpainya di jaman kolonial.
Tetapi yang lebih mengejutkan dan juga membanggakan ialah bahwa penguasa
kolonial telah tidak ada lagi, penguasa bangsa sendiripun ternyata mampu
menjalankan roda pemerintahan. Polisi dan tentara juga tidak kalah galak dan
bengisnya dari pada polisi dan tentara di jaman kolonial. Ketika ia di tengah
tengah kerabatnya ia mendapati kenyataan banyak di antara mereka yang sudah
meninggal dan ada yang menjadi pembesar dan kaya raya, dst.
Hasil pengamatan seperti ini telah memberikan kesan
yang mendalam kepadanya bahwa segala sesuatu itu berubah, tidak langgeng. Dan
pikiran bahwa SEGALA SESUATU ITU BERUBAH, TIDAK LANGGENG ini adalah sepotong
pikiran filsafat, menurut ilmu filsafat inilah pikiran dialektis, yang
merupakan bagian dari suatu sistim filsafat dialektika.
Mari kita lanjutkan contoh di atas tadi. Pada suatu
ketika si A tadi yang setelah beberapa waktu kembali ke tanah air,
memperhatikan lebih dalam kehidupan rakyat kecil, kehidupan kaum buruh, kaum tani
dan kaum miskin di perkotaan, serta pengrajin dan nelayan, dan mengetahui bahwa
nasib mereka tetap miskin dan sengsara. Di lain pihak, ia melihat
pemilik-pemilik modal raksasa asing (kaum Imperialis) masih tetap merajalela
dan bahkan menguasai kehidupan perekonomian dan keuangan Indonesia walaupun
pemerintahan kolonial sudah tidak ada lagi. Kenyataan-kenyataan yang keras ini
telah memberikan suatu kesan padanya bahwa segala sesuatu TETAP TIDAK BERUBAH,
SEMUA TETAP DAN LANGGENG. Pikiran semacam inipun, merupakan sepotong pikiran
filsafat. Dan dalam ilmu filsafat ini dikenal dengan pikiran stastis, merupakan
sebagian dari sistim filsafat metafisika, dalam pengertian non-dialektis.
Dari contoh di atas dapat kita ketahui dengan jelas
bahwa suatu pikiran filsafat itu dilahirkan dari pikiran-pikiran yang hidup
dalam perjuangan manusia sehari-hari untuk mempertahankan dan memperbaiki
kehidupannya dan mempertinggi martabat kemanusiaan. Sungguhpun demikian,
pikiran filsafat tidaklah sama dengan pikiran yang hidup sehari-hari. Di antara
keduanya terdapat perbedaan kualitas atau sifat. Sebagaimana yang kita ketahui
dari contoh di atas itu, bahwa pikiran sehari-hari itu adalah KHUSUS dan
KONGKRIT, misalnya "wajah jakarta berubah", "keadaan politik di
Indonesia berubah", "nasib kaum tani dan buruh di indonesia tetap
miskin dan sengsara", "penanaman modal asing di Indonesia semakin
besar", dsb. Sedangkan pikiran filsafat, yang merupakan penyimpulan dari
pikiran-pikiran sehari-hari yang mencerminkan kenyataan-kenyataan khusus dan
kongkrit, dan bersifat hakiki, umum dan abstrak.
Kembali pada contoh di atas. bahwa si A pada situasi
tertentu timbul kesan: "segala sesuatu senantiasa berubah", tapi pada
situasi lain timbul kesan sebaliknya. Lalu bagaimana sebenarnya, apakah segala
sesuatu itu berubah atau tidak berubah? Bagi si A yang tidak pernah belajar
filsafat atau tidak punya pegangan pada suatu sistim filsafat tertentu, sudah
tentu menjadi bingung dan tidak dapat menjawabnya, dan ia akan selalu
diombang-ambing oleh perkembangan situasi. DI SINILAH LETAK SALAH SATU ARTI
PENTING DARI HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN KEHIDUPAN KITA SEHARI-HARI, APA LAGI BAGI
KAUM PROGRESIF-REVOLUSIONER.
Mungkin ada kawan yang mengatakan bahwa kenyataan
menunjukkan, orang yang tidak belajar filsafat atau tidak memiliki sistim
filsafat tertentu toh juga bisa hidup. Memang, tidak memiliki sistim filsafat
tertentu bukan berarti tidak bisa hidup, tapi hidupnya akan selalu dalam
keadaan meraba-raba atau terombang-ambing oleh keadaan. Lagi pula banyak orang,
secara tak sadar memegang sebuah sistim filsafat tertentu, misalnya mereka yang
patuh menjalankan ajaran agamanya, sudah mengandung sebuah sistim filsafat
tertentu. Demikian juga bagi mereka yang yakin bahwa nasibnya sudah ditentukan
hanya oleh Yang Maha Esa, sehingga menerima apa saja adanya, maka secara tidak
sadar ia telah berpegang pada fatalisme, bagi mereka yang hidup tanpa pegangan
filsafat tertentu, sadar atau tidak selain mudah terombang-ambing oleh keadaan,
juga mudah terjerumus ke dalam dunia mistik atau dunia spekulatip, yang tak
lain adalah perjudian, yang lebih banyak kegagalan daripada keberhasilan, ia
suka bersikap avonturis atau labil
Mengapa sebuah sistim filsafat dapat memberi pedoman
hidup pada kita? Sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa pikiran filsafat
yang merupakan penyimpulan dari pikiran sehari-hari yang khusus dan kongkrit
adalah bersifat hakiki, umum dan abstrak. Oleh karena itu maka pikiran-pikiran
filsafat dapat memberikan petunjuk kepada kita untuk mengenal hal-hal yang khusus
dan konkrit yang selalu kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pikiran-pikiran filsafat yang dilahirkan
dari berjuta-juta manusia dalam perjuangan hidupnya sehari-hari, maka para
filosof, menurut keyakinannya masing-masing mengadakan penelitian dan
seterusnya menyusun sistim filsafat tertentu yang lengkap dan konsisten. Dengan
perkataan lain suatu sistim filsafat mencerminkan keadaan dunia semesta ini
(alam masyarakat dan pikiran) secara menyeluruh, mendasar dan umum, atau sebuah
sistim filsafat itu menyatakan keadaan dunia secara teori; dan dengan teori itu
kita gunakan untuk memecahkan masalah-masalah konkrit dan khusus yang kita
hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Sudah tentu, filsafat itu mengalami perkembangan.
Bermula pada jaman Yunani kuno, filsafat sudah mencakup segala macam
pengetahuan bahkan segala macam keterampilan, semua seni dan kerajinan tangan
(art and craft), sehingga filsafat pada saat itu mengandung arti: suka mengejar
segala macam keterangan, pengetahuan dan kebijaksanaan, hingga merupakan bidang
yang sangat luas. Dengan makin berkembangnya pengetahuan manusia terhadap dunia
sekelilingnya, maka timbulah spesialisasi dalam pengetahuan, terciptalah
berbagai macam ilmu pengetahuan khusus, alam ataupun sosial. Akibatnya pengetahuan-pengetahuan
satu demi satu keluar dari bingkai filsafat dan memasuki cabang-cabang ilmu
khusus masing-masing. Filsafat alam masuk ke dalam ilmu alam, filsafat hukum
masuk ke dalam ilmu hukum, filsafat sejarah masuk ke dalam ilmu sejarah dsb. Dan
yang terakhir yang keluar dari filsafat adalah ilmu psikologi. Lalu apakah yang
masih tertinggal dalam ilmu filsafat? Yang tertinggal adalah cara berpikir atau
metode berpikir. Sungguhpun demikian sampai sekarang filsafat masih mempertahan
lima subyek persoalan yang diakui oleh umum yaitu: etika, politik, logika,
estetika dan metafisika. Secara umum ilmu filsafat adalah suatu bidang studi
tentang saling hubungan antara pikiran manusia atau dunia subyektif dengan
keadaan di sekelilingnya atau dunia obyektif.
2. Masalah terpokok dalam Filsafat
Seperti yang telah dikemukakan bahwa filsafat adalah
studi tentang hubungan antara pikiran manusia dan keadaan sekelilingnya, antara
dunia subjektif dan dunia objektif. Dalam hubungan antara pikiran atau ide
manusia dan keadaan atau kenyataan di sekelilingnya itu, sudah tentu banyak
terdapat persoalan. Tetapi di antaranya, yang paling pokok dan mendasar adalah
antara pikiran dan keadaan atau antara ide dan materi, yang manakah yang lebih
dahulu. Ini menjadi masalah yang terpokok dan paling mendasar, karena setiap
sistim filsafat atau pandangan dunia, mau tak mau harus menjawab hal ini. Dan
jawabannya adalah menjadi pangkal tolak pandangan filsafatnya.
Dalam dunia filsafat terdapat banyak macam aliran
atau sistim filsafat, tetapi jawaban terhadap masalah pokok ini terbagi dalam
dua kubu sistim filsafat yang besar. bagi mereka yang berpendapat bahwa pikiran
atau ide ada terlebih dahulu atau primer dan keadaan atau materi adalah
sekunder, karena dilahirkan atau ditentukan oleh pikiran, maka mereka tergolong
dalam kubu IDEALISME. Misalnya mereka yang mengatakan: sebelum gedung pencakar
langit itu ada, terlebih dahulu ia sudah ada di dalam otak sang insinyur yang
merancang pembangunannya. Kemudian idenya itu dituangkan dalam gambar cetak
biru dan akhirnya dibangunlah gedung itu berdasarkan gambar tadi. Jadi gedung
itu adalah perwujudan kongkrit dari ide yang sudah ada lebih dahulu. Demikian
pula sebelum Indonesia merdeka, ide atau gagasan tentang indonesia itu sudah
ada lebih dahulu dalam pikiran pejuang nasional kita, di dalam pikiran rakyat
indonesia.
Sebaliknya mereka yang berpendapat, bahwa keadaan
atau materi itu primer dan pikiran atau idea itu sekunder, tergolong dalam kubu
MATERIALISME. Terlihat misalnya, bahwa keadaan penghidupan manusia yang
membutuhkan tempat berteduh telah melahirkan ide di alam pikirannya untuk
membangun rumah. Oleh karena di dalam kota-kota besar jumlah penduduk membesar,
maka kebutuhan tanah untuk perumahan akan makin besar pula, sehingga harga tanah
akan membumbung tinggi, dan keadaan ini yang menimbulkan ide untuk membangun
rumah bertingkat. Demikian juga idea tentang Indonesia merdeka dilahirkan oleh
keadaan hidup bangsa dan rakyat Indonesia yang menderita karena penindasan dan
penghisapan kolonialisme. Jadi idea atau pikiran itu tak lain adalah pemurnian
atau refleksi keadaan atau kenyataan yang material.
Dua kubu besar filsafat itu, Idealisme dan
materialisme, sejak dari dulu kala sampai sekarang, saling berlawanan dalam
segala pandangannya, justru karena jawaban mereka terhadap masalah terpokok
tersebut berlawanan. Dengan perkataan lain titik tolak pandangan mereka
bertentangan satu sama lain, masing-masing berkeras mempertahankannya. Oleh
karena itu, sejarah filsafat pada dasarnya adalah sejarah perjuangan antara
materialisme dan Idealisme. Pengalaman sejarah selama ini menunjukkan, pada
umumnya, bahwa materialisme selalu mewakili pandangan dunia kelas yang maju,
sedangkan idealisme mewakili pandangan dunia kelas yang reaksioner. Ketika
borjuasi Eropa melawan kekuasaan feodal, mereka mengangkat materialisme sebagai
senjata perlawanan mereka. Misalnya borjuasi Perancis mengibarkan tinggi-tinggi
materialisme sewaktu menjelang revolusi besar perancis (1789). Tetapi setelah
revolusi demokratis borjuis menang dan kaum borjuis naik tahtah, mereka
melemparkan materialisme dan mengibarkan kembali idealisme yang tadinya menjadi
senjata ideologis kelas feodal. Kini materialisme umumnya menjadi senjata
ideologi dari kelas dan rakyat revolusioner dalam perjuangannya untuk demokrasi
dan kebebasannya, dan idealisme menjadi senjata ideologi dari kelas dan
penguasa yang reaksioner dan kontra revolusi, anti demokrasi dan anti rakyat.
Di antara dua kubu besar filsafat yang bertentangan
keras itu, terdapat suatu aliran filsafat yang kelihatannya sebagai aliran
ketiga atau non-blok, tidak berpihak pada monoisme-idealis ataupun
monisme-materialis. Mereka berpendapat bahwa antara ide dan materi, antara
pikiran dan keadan kongkrit, tak ada yang primer atau sekunder, tak ada yang
satu menentukan keadaan yang lain, masing masing saling mempengaruhi. Pendek
kata kedua kubu itu "ko-eksistensi secara damai ". Aliran ini dalam
ilmu filsafat disebut DUALISME. Tokohnya yang terkenal adalah Immanuel kant,
bapak filsafat kelasik jerman abad 19.
Kantianisme ini nampak jelas hendak menempuh jalan
kompromi, "jalan tengah", tak mau membenarkan atau berpihak pada
manapun, berdiri di tengah-tengah kedua belah bihak yaitu antar materialisme
dan idealisme. Padahal ia adalah bagian dari salah satu bentuk idealisme,
karena pandangan yang menjadi titik tolaknya adalah karangan idea subjektifnya,
tidak sesuai dengan kenyataan objektif. Pandangan yang idealis ini banyak kita
jumpai dalam kehidupan sehari-hari, malahan juga masih terdapat dalam kelompok
kaum progresif ataupun yang revolusioner. Misalnya tidak sedikit mereka dapat
menerima materialisme, tapi di pihak lain masih belum bisa melepaskan dirinya
dari ikatan-ikatan idealisme (mistik, tahyul dsb) dan banyak di antaranya
akhirnya melepaskan materialisme dan jatuh sepenuhnya dalam jurang-jurang
idealisme itu.
Sudah tentu dalam kubu idealisme terdapat berbagai
aliran atau cabangnya, tapi pada pokoknya dapat dibagi menjadi dua golongan
berdasarkan pangkal atau titik tolak pandangannya. Golongan pertama, IDEALISME
OBJEKTIF, yaitu mereka yang berpangkal tolak dari ide yang secara objektif ada
di luar manusia, misalnya, ide Tuhan menurut filsafat agama dan ide absolut
menurut filsafat Hegel. Golongan ini umumnya berpendapat, misalnya adanya kehidupan
dan alam semesta karena perwujudan dari ide Tuhan sang pencipta. Dalam
kehidupan keseharian, pikiran filsafat semacam ini kita jumpai antara lain
misalnya:" apa mau dikata, nasibku memang sudah ditakdirkan demikian
" dsb.
Golongan kedua adalah IDEALISME SUBJEKTIF, ialah
mereka yang berpendapat bahwa ide subjektif kita manusia menentukan keadaan
dunia sekeliling. Tokoh yang terkenal adalah Bishop George Berkeley, seorang
filsuf Inggris yang menyangkal adanya dunia material secara objektif. Dalam
kehidupan keseharian dapat kita jumpai misalnya: " keadaan dunia ini
tergantung dari suasana hatimu, bila hatimu bahagia, dunia ini menjadi cerah,
tapi bila hati muram, maka dunia menjadi gelap gulita"; " Dunia
menjadi hitam jika kamu memakai kaca mata hitam, tapi ia akan menjadi semarak
jika mengenalkan warna merah."
Dalam kubu materialisme pun terdapat aneka ragam
aliran yang pada pokoknya dibagi menjadi dua golongan. Tetapi, berbeda dengan
pembagian dalam kubu idealisme yang berdasarkan pada titik tolak pandang, maka
dalam kubu materialisme ini berdasarkan pada metode berpikirnya. Sebab titik
pangkal tolak pandangannya adalah sama ialah dunia kenyataan material yang
berada di sekeliling kita. Tapi karena cara atau metode memandangnya berbeda,
maka hasilnyapun berbeda. Golongan pertama adalah MATERIALISME DIALEKTIS, yaitu
filsafat yang memandang dunia semesta ini secara keseluruhan, tidak
sepotong-sepotong atau berat sebelah, tidak beku atau statis, melainkan dalam
suatu proses perkembangan yang terus menerus tiada akhirnya. Pikiran-pikiran
materialisme dialektik inipun dapat kita jumpai dalam kehidupan misalnya,
"bumi berputar terus, ada siang ada malam", "habis gelap
timbullah terang", "patah tumbuh hilang berganti" dsb. Semua
pikiran ini menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan kita senantiasa berkembang.
Golongan lainnya adalah MATERIALISME METAFISIK, yang
memandang dunia secara sepotong-sepotong atau dikotak-kotak, tidak menyeluruh
dan statis. Pikiran-pikiran berazaskan golongan ini misalnya:"sekali
maling tetap maling", memandang orang sudah ditakdirkan, tidak bisa
berubah.
3. Titik pandang, Metode berpikir
dan asal-usul kelas
Dari uraian di atas dapat kita ketahui, bahwa setiap
sistim filsafat atau pandangan dunia mempunyai dua unsur fundamental, yakni
titik tolak atau pangkal pandangan dan metode berpikir Suatu sistim filsafat
yang dapat mencerminkan secara tepat keadaan dunia objektip di sekeliling kita
sudah tentu harus memiliki titik tolak-pangkal pandangan dan metode berpikir
yang tepat. Persoalannya sekarang ialah: Apa titik tolak-pangkal pandang yang
tepat itu dan bagaimana metode berpikir yang tepat itu?
Sudah dikemukakan bahwa titik tolak pandang pada
dasarnya ada dua: Idealis dan materialis. Dari contoh-contoh yang diberikan
masing-masing mempunyai alasan yang cukup kuat untuk mengklaim dirinya benar.
Sudah tentu tidak mungkin keduanya benar atau salah, kecuali kalau kita
menganut dualisme. Di antara meraka pasti hanya ada satu yang benar. Yang
manakah? Idealis atau materialis?
Titik tolak pandangan yang benar adalah yang
berdasarkan pada kenyataan objektip sebagaimana adanya, tanpa diberi bumbu
subjektip sedikit pun, harus berdasarkan hasil-hasil studi dan penelitian
ilmiah dari data dan fakta dunia objektip di sekeliling, harus berdasarkan penyimpulan-penyimpulan
ilmiah dari pengalaman praktis perjuangan rakyat dalam proses produksi dan
revolusi. Sekali-kali jangan berdasarkan terkaan-terkaan subjektip dan
spekulatip, atau main "sekiranya mesti Begini". Sebagai sebuah
ilustrasi:
'Pada suatu waktu si kelinci sedang asik bermain
dengan temannya, tiba-tiba ia berlari sambil berteriak "Api!",
diikuti temannya mengejar di belakang. Si kambing yang sedang merumput melihat
kelinci berteriak sambil berlari, berpikir dalam benaknya "kobaran api
melahap hutan dengan mengerikan", maka ia segera melompat dan mengajak
anak-anaknya untuk lari dan berteriak keras-keras "Api-Api!! " dan
semua penghuni hutan yang melihat mereka berlari ikut berlari, tanpa banyak
tanya. Dan bertemulah mereka dengan si Kancil yang menghentikan mereka dan
bertanya sampai sejauh mana api menjalar dan tak satu pun yang dapat menjawab.
Si kancil pun mengusut dan akhirnya bertanya pada kelinci, si kelinci menjawab
bahwa ia semula bermain dengan temannya yang sedang menjadi lakon "api",
dan setelah melihat sikambing lari terbirit-birit dan berteriak "Api"
maka kelinci mengira ada kebakaran sungguhan. Kancil tertawa dan mengajak
mereka melihat kebelakang "kalau ada kebakaran tentu ada asapnya mengepul.
ternyata tidak ada sedikitpun asap".
Dongeng ini menunjukkan bahwa si kelinci, kambing
dsb., dalam menghadapi persoalan (kenyataan objektip) bertitik tolak dari
dugaan, interprestasi, perkiraan subjektip, sedang si kancil bertitik tolak
pada kenyataan objektip, sebagaimana adanya, bebas dari segala dugaan, dari
tafsiran subjektif. Dongeng-dongeng seperti ini banyak kita jumpai.
Yang paling parah adalah pembumbuan subjektip yang
sesungguhnya sangat berbahaya dalam perjuangan. Cara atau metode berpikir yang
benar tidak dapat dilepaskan dari pangkal pandangan yang benar, dengan
perkataan lain, metode berpikir yang benar itu adalah metode yang sesuai dengan
kenyataan objektip. Karena kenyataan objektip itu bergerak dan berkembang, maka
kita harus memandangnya secara dinamis, mengikuti gerak dan perkembangannya.
Oleh karena kenyataan itu punya banyak segi, maka kita harus berusaha mengenal
segala seginya. karena kenyataan objektip mempunyai saling hubungan internal
(antar bagian-bagiannya) dan hubungan eksternal(antar kenyataan itu dengan
kenyatan-kenyataan yang lain di sekitarnya), maka kitapun harus menelitinya.
hanya dengan cara demikian kita baru bisa mengenal atau mencerminkan kenyataan
itu sebagaimana adanya, tanpa ada sedikitpun unsur subjektip di dalamnya.
Inilah metode berpikir dialektika materialis. Inilah metode ilmiah yang
digunakan oleh para ilmuan dalam ilmu alam maupun Sosial.
Jika dunia yang bergerak ini kita pandang sebagai
hal yang diam atau statis, kita akan menganggap sebagian kenyataan sebagai
keseluruhan kenyataan, kenyatan yang saling berhubungan kita anggap
terpisah-pisah, maka kita tidak dapat memahami kenyataan itu sebagaimana adanya
atau secara tepat. Cara atau metode berpikir yang semikian kita sebut metode
berpikir metafisika dalam pengertian non-dialektik.
Kita yang percaya pada perubahan radikal dan
revolusioner, menjadi harus dengan teguh dan konsisten serta ilmiah menggunakan
metode berpikir yang dialektik materialis. dalam menghadapi apapun dan kondisi
yang bagaimanapun.
Setiap orang mempunyai kedudukan tertentu dalam
masyarakat. Dalam masyarakat berkelas ia tergolong ke dalam dan mempunyai
kepentingan kelas tertentu. Keadaan ini sangat mempengaruhi pikiran dan
pandangannya., dengan perkataan lain, asal-usul kelas seseorang ikut menentukan
pandangan kelasnya. Oleh karenanya,walaupun seseorang mempunyai pandangan
filsafat yang benar, tapi bila hasilnya itu ternyata bertentangan dengan
kepentingan kelasnya, maka kaum borjuis, mereka dihadapkan pada suatu pilihan:
menghianati kelasnya atau melepaskan pandangan filsafatnya yang benar itu.
Kalau ia hendak mempertahankan kepentinagan kelasnya ia tak dapat secara
konsisten mempertahankan sistim pandangan filsafatnya yang benar itu.
Kaum Borjuis Eropa ketika sebagai kelas tertindas
(walaupun ia juga bagian dari kelas yang ikut menghisap tenaga kerja orang
lain), sebagai kelas yang progresip dan revolusioner, melawan kekuasaan feodal,
mempersenjatai diri dengan materialisme (sekalipun materialisme perancis pada
abad 18 adalah materialisme mekanis). Tetapi sewaktu kaum borjuis ini berkuasa
mereka menjadi penindas dan penghisap kelas pekerja dan menjadi kelas yang
reaksioner atau kontra revolusi. Mereka berbalik mengibarkan panji-panji
idealisme. Dalam hal-hal tertentu, kaum borjuis misalnya menggunakan pandangan
dan metode ilmiah atau materialisme dialektik terhadap gejala alam dan
tehnologi, karena penguasaan terhadap tehnologi dan alam itu sesuai dengan
kepentingan mereka. Tetapi mengenai gejala-gejala sosial dan
peristiwa-peristiwa sejarah mereka tidak konsisten menggunakan titik pandang
dan metode yang ilmiah lagi. Mengapa? Tidak lain karena materialisme dialektis
akan mengungkapkan kenyataan masyarakat kapitalis apa adanya, di mana terdapat
penghisapan modal (kapitalis) terhadap tenaga kerja, penghisapan kelas
kapitalis terhadap kelas buruh dan rakyat pekerja lainnya, terhadap
kepincangan-kepincangan dan stagnasi yang menghambat perkembangan masyarakat
untuk lebih maju. Dan hanya kelas pekerja yang mampu mengubur sistim sosial
kapitalisme dan akan membawa manusia ke tingkat yang lebih tinggi, masyarakat
adil dan makmur, yang bebas dari kemiskinan dan segala macam ketidak adilan,
bebas dari penghisapan atas manusia oleh manusia. Semua itu tentu saja tidak
akan menguntungkan kelas kapitalis. Maka mereka sangat memusuhi dan selalu
menyebarkan idealisme menyesatkan yang membohongi rakyat pekerja. Sebaliknya
Filsafat materialisme dialektik yang dapat mencerminkan kenyatan dengan
objektip menjadi senjata paling ampuh bagi rakyat yang tertindas dalam
perjuangan untuk pembebasan mereka.
Jadi untuk dapat memiliki suatu sistim filsafat yang
tepat, tidak hanya titik tolak dan metode yang tepat dan benar, tapi juga
mempunyai pendirian kelas yang tetap, artinya keberpihakan terhadap kelas yang
paling tertindas yaitu kelas pekerja. Untuk dapat memilikinya dan
mempertahankan dengan konsisten: pangkal pandang, metode berpikir, dan
pendirian kelas yang tepat, tidak hanya cukup belajar memahami dan menguasai
materialisme dialektika, tapi yang lebih penting: ikut ambil bagian, aktif
dalam kerja untuk perjuangan kelas yang paling tertindas secara aktual. Hanya
dengan ikut serta langsung dalam proses perjuangan kita dapat memahami,
menguasai, mempertahankan secara konsisten pandangan filsafat yang tepat dan
benar ini.
II. MATERIALISME
DIALEKTIK
1. Latar belakang sejarah
Materialisme Dialektik
Sebagaimana kita telah ketahui, bahwa materialisme
dialektik bersumber pada filsafat kelasik Jerman abad ke 19, atau dengan
perkataan lain Materialisme dialektik (MD) merupakan pengembangan lebih lanjut
dari filsafat kelasik jerman itu. Fisafat kelasik jerman merupakan filsafat
yang paling maju di Eropa pada waktu itu. Mengapa tidak di Inggris atau
Perancis yang tingkat perkembangan masyarakatnya jauh lebih maju dari pada di
Jerman. Ini tentu bukan hal yang kebetulan.
Pada abad ke 19, kapitalisme mulai berkembang di
Jerman, kaum borjuis Jerman berada di telapak kaki kekuasaan feodal Kaum
Jongker. Sedang di Inggrris dan Perancis, kapitalisme sudah berkembang maju,
dan borjuasinya sudah berhasil menumbangkan kekuasaan feodal, borjuis Jerman
membutuhkan sebuah filsafat sebagai sebuah senjata ideologis yang mampu
memberikan bimbingan dan pimpinan dalam perjuangan itu. Filsafat kelasik Jerman
abad ke 19 itu justru merupakan proses perkembangan dari perjuangannya untuk
mendapatkan senjata ideologi itu. Pada batas-batas tertentu perjuangan kelas
antara kaum feodal dan kaum borjuis lebih berat daripada apa yang terjadi
sebelumnya di Inggris dan Perancis, karena baik kaum feodal yang berkuasa,
maupun kaum borjuis yang berkuasa di Jerman, masing-masing telah dapat menarik
pelajaran dari pengalaman sejarah, pengalaman perjuangan kelas, dari
negeri-negeri tersebut. Sementara itu perkembangan kapitalisme secara tak
terhindarkan melahirkan suatu kelas baru, yaitu kelas pekerja, kelas proletar
yang makin tumbuh membesar dan kuat, sebagai musuh utama kelas borjuis dalam
masyarakat kapitalis. Gerakan kaum buruh yang sudah mulai bangkit di Inggris,
Perancis dsb., juga mempengaruhi alam pikiran kaum borjuis Jerman.
Sudah tentu di samping itu semua, ilmu pengetahuan
dan tehnologi berkembang dengan pesat, karena dorongan perkembangan kapitalisme
saat itu, yang ikut mempengaruhi perkembangan dunia pikiran dan filsafat. Dalam
situasi demikian, kaum borjuis Jerman di satu pihak berkepentingan menumbangkan
kekuasaan feodal untuk mengembangkan kapitalisme, sedang di pihak lain mereka
juga mengkuatirkan ancaman kebangkitan gerakan kelas proletar, sehingga hal ini
menimbulkan keraguan dalam diri mereka. Ini tercermin dalam filsafat kelasik jerman
pada abad 19 waktu itu, mulai dari filsafat dualisme Kant yang kompromis,
filsafat Hegel yang dialektik tapi idealis, sampai ke filsafat Feuerbach yang
materialis tapi mekanis dan tak konsekwen.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tokoh-tokoh yang
sangat erat hubungannya dengan kelahiran materialisme dealektik adalah Hegel
dan Feuerbach. Hegel berjasa dalam mensistimatisir pikiran-pikiran dialektis
yang terdapat sepanjang sejarah filsafat, ini yang menunjukkan bagian progresip
dari filsafatnya, tapi dialektika Hegel itu berdasarkan idealisme, yang
menunjukkan segi yang reaksioner dari filsafatnya. Menurut Hegel, gejala alam
dan sosial adalah perwujudan dari 'ide absolut yang senantiasa bergerak dan
berkembang. Marx berpendapat bahwa dialektika Hegel itu berjalan dengan kaki di
atas dan kepala di bawah.
Filsafat Feuerbach adalah filsafat materialis
mekanis yang pernah menjadi senjata ideologis kaum borjuis Perancis dalam
revolusi abad 18. Sungguhpun demikian, adalah juga feuerbach yang berani
menghidupkan kembali materialisme dan mengibarkan tinggi-tinggi di tengah
lautan idealisme yang menguasai seluru Eropa pada abad itu. Dengan materialisme
yang terbatas, Feuerbach mengkritik agama Katholik yang berkuasa pada saat itu,
karena mereka tak lebih dari anjing penjilat dan alat negara kerajaan pada saat
itu, dan hendak mendirikan sebuah agama baru di atas bumi yang nyata, bukan di
awang-awang. Ini justru menunjukkan ketidak konskwenan pandangan materialisme
Feuerbach.
Marx secara kritis mengubah dialektika Hegel yang
idealis menjadi Materialis, dan materialisme Feuerbach yang mekanis
(non-dialektis) menjadi dialektis. Dengan demikian terciptalah suatu sistim
filsafat materialisme dialektik.
Berdasarkan sistim filasafat materialisme dialektik,
marx mengadakan penyelidikan dalam bidang sejarah, menelaah sejarah
perkembangan masyarakat manusia, maka lahirlah apa yang dikenal Materialime
Historis atau pandangan sejarah materialis. Menurut materialisme historis Marx,
masyarakat berkembang menurut hukum-hukumnya dan tidak dapat ditentukan oleh
ide atau kehendak seseorang atau golongan, dan menurut hukum-hukum perkembangan
masyarakat yang objektip ini, terutama hukum yang menguasai masyarakat kapitalis,
Marx menyimpulkan, bahwa masyarakat kapitalis pasti akan tumbang dan akan
diganti oleh masyarakat yang lebih maju. Ini adalah suatu keharusan sejarah.
Dan keharusan sejarah ini akan diwujudkan dan hanya dapat diwujudkan oleh kelas
pekerja, proletariat. Kelas pekerja yang paling banyak dan paling tertindas itu
telah mendapatkan filsafatnya sebagai senjata ideologis yaitu materialisme
dialektika. Dan materialisme dialektika mendapatkan kekuatan realnya pada Kelas
pekerja.
2. Dunia kenyataan objektip adalah
material
Sama seperti filsafat materialis lainnya,
materialisme dialektik pertama-tama mengakui, bahwa materi atau keadaan (being)
adalah primer dan idea atau pikiran itu adalah sekunder. Materi yang
dimaksudkan di sini tidak berarti hanya benda tapi segala sesuatu yang adanya
secara nyata (riil), yang dapat ditangkap oleh indera, dilihat, dibaui,
didengar, diraba dan dirasakan. Selain itu yang lebih penting bahwa
materialisme dialektik mengakui materi atau kenyataan objektip itu berada di
luar kesadaran subjektip, artinya adanya suatu materi itu tidak ditentukan oleh
kesadaran atau pengetahuan kita.
Misal, adanya pengaruh resesi dunia kapitalis dalam
kehidupan ekonomi kita, kita sadari atau tidak kenyataan itu tetap ada. Ada
sementara orang yang hanya mau mengakui suatu hal sebagai suatu kenyataan
apabila sudah ia sadari, dengan kata lain ada atau tidak adanya suatu kenyataan
itu ditentukan oleh kesadaran subjektif. Inilah pandangan idealisme subjektif.
Sering secara tidak sadar tergelincir kedalam pandangan yang demikian, hingga
jatuh dalam jurang subjektivisme.
Dasar material dari pendirian kita bahwa idea atau
pikiran itu sekunder adalah sebagai berikut:
1.
Suatu
ide atau pikiran mesti dilahirkan oleh suatu materi yang dinamakan otak, tanpa
otak tak akan ada idea atau pikiran.
2.
Menurut
isinya, suatu idea mesti merupakan suatu pencerminan dari suatu kenyatan
objektip atau materi, sekalipun betapa abstraknya materi itu, misalnya ide
masyarakat adil makmur, adalah pencerminan yang berpangkal dari suatu kenyataan
masyarakat yang serba tidak adil dan miskin, hingga menimbulkan angan atau
cita-cita akan sebuah masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam mencerminkan kenyataan objektif, ide atau
pikiran tidak hanya seperti sebuah cermin atau alat pemotret yang dapat
mencerminkan objek sebagaimana adanya, tapi dapat juga mengembangkannya lebih
jauh; menghubungkan, membandingkan dengan kenyataan-kenyataan lain lalu menarik
kesimpulan atau keputusan, hingga melahirkan suatu idea untuk merubah kenyataan
itu. Peranan aktif ide ini mendapatkan tempat yang sangat penting dalam
pandangan materialisme dialektik, karena motif berpikir kita pada umumnya untuk
memecahkan persoalan atau mengubah kenyataan, dan tidak hanya sekedar
mencerminkan kenyataan begitu saja.
Meskipun demikian, ide itu sendiri tidak dapat
secara langsung mengubah kenyataan atau keadaan, dan untuk dapat mewujudkannya
ide memerlukan dukungan kekuatan material. Dan seterusnya kekuatan material
inilah yang secara kongkrit mengubah kenyataan atau keadaan itu, Gagasan
Indonesia tidak akan dapat menjadi kenyataan apabila tak dapat menghimpun dan
menggerakkan Rakyat Indonesia untuk mewujudkannya. Kegunaaan praktis dari
prinsip pertama filsafat materialisme dialektik adalah, bahwa dalam menghadapi
suatu persoalan kita harus bertolak dari kenyataan objektif sebagaiman adanya,
bukan dari dugaan atau pikiran subjektif kita. Dan dengan pengetahuan kita yang
lengkap mengenai kenyataan itu kita baru dapat menyusun suatu ide atau cara
yang tepat untuk pemecahannya.
3. Dunia kenyataan objektip
merupakan suatu kesatuan organik
Dunia materiil atau kenyataan objektip merupakan
suatu kesatuan organik, artinya setiap gejala atau peristiwa yang terjadi di
dunia sekeliling kita, tidak berdiri sendirian, tapi saling berhubungan satu
dengan yang lainnya. seperti tubuh kita, setiap bagian badan mempunyai saling
hubungan dengan bagian badan lainnya secara tak terpisah.
Oleh karena itu, sebuah gejala dapat dimengerti dan
diterangkan kalau dipandang dalam hubungannya dengan keadaan-keadaan yang tak
terpisahkan dengan gejala-gejala di sekelilingnya, sebagai gejala-gejala yang
ditentukan oleh gejala-gejala di sekitarnya. Pertumbuhan padi hanya dapat
dimengerti hanya bila kita mengetahui saling hubungannya dengan keadaan tanah,
air, dan matahari dsb. yang ada di sekitarnya; di samping keadaan saling
hubungan antara bagian-bagian dari pohon padi tadi yaitu, akar, batang, daun,
dsb. Saling hubungan antara gejala-gejala di sekitar kita itu banyak corak dan
ragamnya, ada yang langsung dan ada yang tak langsung; ada saling hubungan yang
penting dan yang tak penting; ada saling hubungan keharusan dan kebetulan dsb.
Semua harus dipelajari dan dapat dibedakan. Terutama saling hubungan keharusan
dan yang kebetulan. Salah satu bentuk saling hubungan kausal atau sebab-akibat.
Dan kita hanya dapat memahami sesuatu hal apabila kita mengetahui sebab dan
syarat-syarat serta faktor yang melahirkan hal-hal tersebut.
Dengan mengenal baik saling hubungan internal suatu
hal-ikhawal, serta saling hubungannya dengan keadaan sekeliling (ekstern), kita
tidak hanya dapat memahami sifat dan kualitas nya, tapi juga dapat mengetahui
hukum-hukum yang menguasai perkembangannya. Dengan mengenal baik saling
hubungan antar kelas yang barada dalam masyarakat kita serta hubungannya dengan
dunia sekitar sebagai keseluruhan, kita dapat memahaami watak masyarakat kita.
Materialisme dialektika memandang suatu hal ikhwal tidak secara terpisah dari
hubungannya dengan keadaan sekitarnya. Supaya kita saling mengenal baik saling
hubungan kenyataan di sekitarnya. sehingga kita dapat mengetahui hukum yang
menguasainya. Dan hanya berdasarkan hukum-hukum yang kita ketahui, kita dapat
mengubah hal ikhwal tersebut.
4. Dunia kenyataan objektip
senantiasa bergerak dan berkembang
Materialisme dialektis selanjutnya menunjukkan
bahwa, dunia materi atau kenyataan objektip itu senantiasa dalam keadaan
bergerak dan berkembang terus menerus. Keadaan diam atau statis, hanya bersifat
sementara atau relatif, disebabkan karena kekuatan di dalamnya serta hubungannya
dengan kekuatan-kekuatan yang ada di sekitarnya dalam keadaan seimbang.
Misalnya air dalam satu panci, dalam keadaan temperatur dan tekanan udara yang
bias, nampaknya diam, padahal molukel-molukel air itu dalam keadaan bergerak,
hanya saja dalam kecepatan yang rendah dan stabil, dan tak dapat dilihat dengan
mata telanjang. Demikian juga kekuatan-kekuatan antara air dengan
dinding-dinding panci itu, tapi setelah panci dipanasi maka gerakan-gerakan
molukel air makin cepat hingga makin nampak geraknya, akhirnya sampai pada 100
derajat celsius. Pecahlah keseimbangan mereka hingga air berubah menjadi uap
dan meninggalkan panci tersebut.
Materialisme dialektika tidak hanya berpendapat,
bahwa materi itu senantiasa dalam keadaan bergerak dan berkembang, tapi juga
berpendapat bahwa gerak materi itu adalah gerak sendiri, bukan digerakkan oleh
kekuatan di luarnya. Gerak bumi kita adalah gerak sendiri, bukan digerakkan
oleh "gerak pertama", sebagaimana yang dikemukakan Newton, Yang pada
hakekatnyanya adalah pandangan idealisme --"gerak pertama" itu
digerakkan Tuhan.
Materialisme dialektika lebih lanjut menjelaskan.
bahwa gerak materi banyak ragamnya, tidak terbatas pada gerak mekanis saja,
yang hanya membawa perubahan kuantitas, juga bukan gerak lingkaran setan atau
gerak berulang-ulang yang tetap. Setiap materi mempunyai bentuk gerakan
sendiri. Berpikirpun merupakan suatu gerak dari materi tertentu yang kita sebut
otak. Sungguhpun gerak mempunyai banyak bentuk, mereka pada umumnya berada
dalam proses perkembangan "tumbuh, hilang berganti"di mana sesuatu
itu senantiasa timbul dan berkembang, dan sesuatu itu senantiasa rontok dan
mati; senantiasa dalam 'gerak yang maju dan naik', sebagai peralihan dari
keadaaan kualitatif yang lama ke kualitatif yang baru, perkembangan dari yang
sederhana ke yang rumit, dari yang rendah ke yang lebih tinggi.
Materialisme dialektik juga menjelaskan bahwa gerak
materi itu tidak tergantung atau ditentukan oleh keinginan atau kehendak
subjektif manusia, melainkan menurut hukum-hukum yang menguasainya. Setiap hal
yang khusus mempunyai hukum-hukum gerak yang khusus. Hukum perkembangan dunia
tumbuhan berlainan dengan hewan; hukum perkembangan masyarakat desa berlainan
dengan yang di kota. Hukum-hukum gerak itu disebut hukum dialektika. Di samping
hukum-hukum dialektika yang berlaku khusus dari hal-hal yang khusus, sudah
tentu juga ada hukum-hukum yang berlaku umum, yang berlaku buat semua hal.
Prinsip-prinsip dialektika secara praktis mengajar kita agar supaya selalu
berpandangan ke depan, jangan selalu ke belakang, supaya selalu berorientasi
pada hal-hal atau kekuatan yang sedang tumbuh dan berkembang, jangan pada
sesuatu yang sedang lapuk atau mati. Dengan kata lain, supaya kita selalu
berpandangan progresip revolusioner.
III. DIALEKTIKA MATERIALISME
1. Hukum dialektika dan metode
dialektika
Apakah metode dialektika itu?, Metode ini memandang,
menyelidiki dan menganalisa segala hal-hal yang kongkrit kita hadapi, dengan
menggunakan dasar-dasar hukum-hukum dialektika yang berlaku secara objektif,
oleh karena, metode dialektika itu sebetulnya tergantung oleh dua hal subjektif
yaitu:
a. lengkap
tidaknya, tepat tidaknya, pengetahuan seseorang ten tang hukum dialektika,
b. banyak
atau sedikitnya pengalaman dia dalam praktek menggunakan metode tersebut, atau
dengan perkataan lain sejauh mana ketrampilan dia menggunakannya.
Dengan mengetahui secara jernih tentang perbedaan
atau hukum dialektika yang objektif dengan metode dialektika yang subjektif,
kita dapat memiliki kegunaan secara praktis sbb:
a. Kita
hendaknya terus melatih pandangan dialektika materialis kita, selain dengan
rajin mempelajari teori-teori revolusioner dan mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan umum secara cermat, juga dan terutama ikut terjun dalam praksis,
terjun dalam kancah perjuangan massa rakyat revolusioner.
b. Melatih
cara pandang dengan menggunakan metode dialektika, meneliti dan menganalisa,
memecahkan setiap hal yang kita hadapi, misalnya dengan jalan berusaha mengenal
sesuatu hal seobjektif mungkin dan selengkap mungkin, mengumpulkan data dan
mendiskusikannya dengan kawan-kawan, dengan mengadakan dialog dengan massa
rakyat, memperhatikan pendapat orang lain, mempelajari tulisan, analisa atau
karya-karya ilmiah orang lain, berusaha untuk mampu mengadakan penyimpulan atau
analisa serta menguraikan secara sistimatis baik dengan lisan maupun tulisan.
Orang menggunakan metode dialektik berdasarkan hukum
umum dialektik, sebagai pedoman untuk mendekati, mengenal dan menganalisa
hal-hal yang khusus dan kongkrit, dan untuk menemukan hukum-hukum dialektik
yang khusus untuk menguasai hal-hal tertentu tersebut. Sifat hukum dialektik
yang umum itu abstrak, ia merupakan abstraksi dari hukum-hukum dialektika yang khusus
dan kongkrit, dalam dunia kenyataan yang kongkrit.
Hukum umum dialektik itu sebenarnya tidak ada, yang
ada hanyalah hukum-hukum dialektik yang khusus dan kongkrit. Setiap hal atau
soal mempunyai hukum dialektiknya sendiri yang khusus dan kongkrit.
Karena itu, memecahkan suatu persoalan tertentu
berarti memecahkan atau menemukan dan memahami secara tepat hukum dialektikanya
yang khusus mengenai persoalan itu. Sedangkan hukum-hukum yang umum hanyalah
pedoman. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh orang-orang revolusioner
sepanjang sejarah pergerakan rakyat: jangan banyak bicara umum dan abstrak,
tapi pecahkan sesuatu hal secara khusus dan kongkrit.
2. Hukum umum dialektika yang
pertama: Kesatuan dari segi-segi yang berlawanan
Dalam 'Anti Duhring', Engels mengemukakan tiga hukum
umum dialektika. Hukum dialektika yang pertama, Kesatuan dari segi-segi yang
belawanan atau kontradiksi, menunjukkan bahwa gerak dunia materiil atau dunia
kenyataan objektip ada karena segi-segi, faktor-faktor yang berlawanan dalam
dirinya. Oleh karena itu menurut arti sebenarnya, 'dialektika adalah studi
tentang kontradiksi di dalam hakekat segala sesuatu itu sendiri'.
Dengan kata lain hukum kontradiksi itu adalah
jiwanya dialektika. Tanpa adanya kontradiksi intern, berarti tidak ada gerak
dan perkembangan. berarti tidak ada hal ikhwal itu sendiri.
a. Pengertian tentang Kontradiksi
Dalam pengertian filsafat, sangatlah luas, tidak
sebatas pada segi-segi yang saling berlawanan atau bertentangan, tapi segi yang
berlainan dan berbeda sekalipun termasuk dalam kontradiksi.
b. Keumuman kontradiksi
Ada dua pengertian: pertama, bahwa di dalam segala
hal terdapat segi-segi yang berkontradiksi. Kedua, bahwa di dalam segala hal
dalam seluruh proses perkembangannya, dari satu tingkat ke tingkat yang lain
selalu terdapat kontradiksi di dalamnya. Setelah satu kontradiksi pada suatu
tingkat perkembangan selesai, timbullah kontradiksi baru pada tingkat
perkembangan yang baru. Begitu seterusnya tiada habis-habisnya. Arti praktis
dari pengertian keumuman kontradiksi ini adalah bahwa kita tak boleh melarikan
diri dari kontradiksi atau persoalan, bahwa kita tak boleh merasa jemu atau
jera menghadapi dan memecahkan kontradiksi (persoalan). Di dunia ini tidak ada
satu hal atau masalah yang dapat dengan satu kali diselesaikan untuk
selama-lamanya, tanpa timbul persoalan baru.
c. Kekhususan kontradiksi
Mempunyai dua pengertian, pertama bahwa di dalam
setiap hal terdapat kontradiksinya sendiri secara khusus, yang berbeda dengan
kontradiksi di dalam hal yang lain. kedua, bahwa suatu hal dalam proses
perkembangannya, maka di setiap tingkat perkembangannya terdapat kontradiksinya
yang khusus, sehingga kita dapat membedakan tingkat perkembangannya yang satu
dengan yang lain. Misalnya dalam proses perkembangan kupu-kupu, kontradiksi
yang terkandung pada tingkat perkembangannya sebagai telur berbeda dengan yang
pada tingkat perkembangannya sebagai ulat, dan seterusnya. Pengertian ini
mempunyai arti praktis, bahwa sekali lagi kita dalam mengenal dan memecahkan persoalan
harus secara kongkrit, tidak boleh secara umum dan garis besar saja, tidak
boleh asal menjiplak saja. Cara pemecahan suatu persoalan tertentu tak dapat
digunakan mentah-mentah untuk memecahkan persoalan yang lain. Demikian juga
pemecahan untuk suatu tingkat perkembangan tertentu dari suatu persoalan tak
dapat dipakai begitu saja untuk pemecahan tingkat perkembangannya yang lain.
d. Kontradiksi dasar
Dalam suatu materi atau kenyataan objektif terdapat
lebih dari satu kontradiksi. Kontradiksi atau kontradiksi-kontradiksi yang
menentukan kualitas suatu materi atau kenyataan objektif, atau dengan perkataan
lain, yang menentukan adanya materi atau kenyataan objektif itu, disebut
kontradiksi atau kontradiksi-kontradiksi dasar. Perubahan kontradiksi dasar berarti
terjadi perubahan dari kualitas yang satu menjadi kualitas yang lain, berarti
terjadinya suatu perubahan dari suatu materi pertama menjadi materi yang lain.
Misalnya, Penghisapan kaum kapitais terhadap kaum buruh merupakan suatu
kontradiksi dasar dari masyarakat kapitalis, dan dengan lenyapnya kontradiksi
itu berarti lenyaplah pula masyarakat kapitalis yang berubah menjadi masyarakat
yang lain.
Arti praktis dari pengertian ini ialah, kita hanya
bisa mengambil sesuatu hal dengan baik, apabila kita mengetahui dengan jelas
apa kontradiksi dasarnya. Hanya dengan demikian kita akan mengetahui dengan
jelas pula suatu hal itu mengalami perubahan yang kualitatif ataukah tidak,
juga dengan hanya demikian kita baru bisa mengusahakan untuk mengubahnya.
e. Kontradiksi Pokok atau
kontradiksi utama
Pada setiap tingkat perkembangan sesuatu hal, tidak
semua kontradiksi yang terkandung memainkan peranan yang sama. Di antaranya
pasti ada satu dan hanya satu kontrdiksi yang mamainkan peranannya yang paling
menonjol. Kontradiksi ini disebut kontradiksi pokok atau utama. Misalnya,
kontradiksi antara rakyat Indonesia (terutama rakyat pekerja) dengan kaum
penjajah kolonial sebelum kemerdekaan 45 merupakan kontradisi pokok dalam
masyarakat Indonesia pada tahap itu. Arti praktis dari ini adakah bahwa kita
harus dapat mengenal kunci persoalan atau kontradiksi pokok ini, maka
kontradiksi-kontradiksi lainnya dapat diselesaikan dengan lebih mudah. Tanpa
memecahkan kontradiksi antara rakyat Indonesia dengan penguasa kolonial, kita tidak
akan dapat me-nyelesaikan kontradiksi antara kaum petani dengan tuan-tuan
feudal, suatu kelas yang dipertahankan oleh sistim kolonial.
f. Mutasi
Kontradiksi pokok itu tidak tetap kedudukannya.
dalam keadaan dan syarat tertentu bisa diambil alih oleh kontradiksi yang
tadinya bukan pokok. Pergeseran atau pergantian ini disebut mutasi kontradiksi
pokok.Misalnya kaum imperialis pernah berusaha agar kontradiksi antar daerah
atau suku bermutasi menjadi kontradiksi pokok di Indonesia, hingga bangsa kita
dapat dipecah belah dan tetap mereka kuasai. Arti praktisnya ialah, bahwa kita
harus mengenal baik keadaan atau syarat-syarat yang dibutuhkan oleh suatu
kontradiksi hingga dapat bermutasi menempati kedudukan sebagai kontradiksi
pokok. Hanya dengan demikian kita baru dapat mendorong/mempercepat atau
sebaliknya mencegah/menghambat terjadinya mutasi itu. Hanya dengan mengetahui
dengan jelas dan tepat syarat-syarat yang diperlukan telor ayam untuk mendapat
menetas menjadi anak ayam, maka manusia dapat menciptakan mesin penetas.
g. Kedudukan dua segi dalam suatu
kontradiksi
Dua segi yang berkontradiksi itu tentu berbeda
kualitasnya. di antaranya pasti akan ada yang mewakili kekuatan lama, yang tak
mempunyai hari depan, dan segi lainnya mewakili kekuatan baru atau yang sedang
tumbuh. Kedudukan mereka dalam proses perkembangan adalah tidak sama pula. Segi
lama yang nampak besar dan kuat pada awal perkembangan kontradiksi itu
menempati kedudukan yang menguasai dan yang memimpin. Sebaliknya segi yang baru
yang semula nampak masih kecil dan lemah, berkedudukan sebagai yang dikuasai
dan yang dipimpin. Tapi dalam perkembangan selanjutnya segi baru itu berkembang
besar dan makin kuat. sedang segi lama makin lemah dan makin lapuk sehingga
suatu saat segi baru yang berkedudukan dipimpin berkembang dan bermutasi
menjadi yang memimpin. Ini berarti arah perkembangan kontradiksi itu mengalami
perubahan. Kalau tadinya ke kanan misalnya, sekarang ke kiri. Lebih lanjut, segi
baru yang tadinya dikuasai sekarang bermutasi ke tempat yang menguasai. Dengan
perkataan lain, terjadi perubahan kwalitatip, hal yang lama berubah menjadi
yang baru.
Arti praktis dari pengertian itu adalah kita harus
selalu berusaha mengenal sebaik-baiknya segi-segi yang berkontradiksi. Baik
kualitasnya, maupun kedudukan atau posisinya dalam proses perkembangannya. Jadi
kalau kita mau mengalahkan musuh-musuh rakyat yang tertindas, kita harus
mempelajari mendalam mengenai segi-segi dan keadaan musuh dan posisinya, dan
dari pihak kita sendiri. Di samping itu, bagi kita yang menginginkan perubahan
dan pembebasan, harus selalu berorientasi pada kekuatan-kekuatan yang sedang
tumbuh, yang mempunyai hari depan dan syarat-syarat yang diperlukan bagi
perkembangannya, agar kita membantu mempercepat pertumbuhannya.
h. Kesatuannya relatif,
pertentangannya mutlak
Apabila kita memperhatikan dua segi dalam suatu
kontradiksi maka kita dapat melihat, bahwa dua segi itu sejak dari awal sampai
akhir proses perkembangannya selalu bertentangan satu sama lainnya, selalu
dalam perjuangan mengenyahkan lawannya tanpa syarat. Artinya pertentangan dua
segi itu adalah mutlak, tak peduli dalam keadaan bagaimanapun juga. Kesatuannya
bisa terjadi karena kedua segi itu berbeda kualitasnya, dan menempati kedudukan
yang berbeda pula dalam kesatuan itu, ada yang menguasai dan ada yang dikuasai.
Dan hal ini dikatakan bersifat sementara karena dalam perkembangannya kedua
segi itu akan terjadi mutasi, yang semula dikuasai akan menguasai, sehingga
terjadi perubahan kwalitatip, kesatuan yang lama diganti dengan kesatuan yang
baru. Pengertian ini berarti, sikap kompromi dengan musuh itu relatif sementara
(taktis), sedangkan perjuangan melawan musuh itu mutlak (strategis), tetap
berlangsung terus, bervariasi dalam bentuk dan bidangnya.
Dalam kontradiksi hal ini mempunyai dua pengertian: Pertama,
menurut wataknya ada yang antagonistik, misalnya kaum buruh dan kaum kapitalis,
buruh tani lawan tuan-tuan feodal, yang langsung berlawanan kepentingannya. Ada
pula kontradiksi yang non-antagonistik.
Kedua, menurut
bentuknya perjuangan dari kedua segi yang berkontradiksi ada yang bersifat
antagonistik dan ada yang non-antagonistik. Yang dimaksud dengan perjuangan
yang non-antagonistik itu adalah perjuangan yang terbuka dan dengan kekerasan.
Misalnya perjuangan kaum buruh melawan majikan selama masih dalam bentuk
pernyataan protes dan berunding di meja perundingan, atau bahkan merupakan
pemogokkan dengan tata tertib, masih dapat digolongkan dalam bentuk perjuangan
yang antagonistik. Tetapi kalau sudah terjadi pengambil alihan pabrik atau
penindas dan dari majikan dengan kekerasan sehingga terjadi perkelahian, maka
perjuangan tersebut disebut perjuangan yang antagonistik. Kontradiksi yang
menurut wataknya antagonis belum tentu harus sudah mengambil bentuk perjuangan
yang antagonistik, dapat jua masih mengambil bentuk perjuangan yang non
antagonistik. Misalnya kontradiksi antara rakyat dan musuh-musuh rakyat,
menurut watak-nya adalah antagonistik. Namun bentuk perjuangannya dalam proses
perkembangan masih bisa bersifat non-antagnistik misalnya aksi-aksi reform.
jadi tidak mutlak sudah harus angkat senjata atau dengan kekerasan. Semua
tergantung pada kondisi dan situasi serta syarat-syarat kongkrit yang ada. Akan
tetapi pada tingkat terakhir di tingkat perkembangannya, pada pokoknya secara
mutlak mengambil perjuangan antagonistik. Karena tidak ada penguasa yang rela
menyerahkan kekuasaannya dengan suka rela, malah mereka akan mempertahankan
dengan kekerasan.
Pengertian ini mengingatkan kita supaya kita pada
satu pilihan memperkuat persatuan kita dengan kelompok progresif lainnya dengan
menciptakan dan mempertahankan syarat-syarat yang diperlukan. Di pihak lain
kita harus berusaha supaya musuh terus terpencil dari sekutunya dan memperlemah
persatuan mereka.
Di samping itu kita harus melihat dengan cermat,
bahwa pada keadaan yang bagaimana kita akan mengambil bentuk perjuangan yang
antagonistik atau non-antagonistik dalam menghadapi musuh.
3. Hukum umum dialektika ke dua:
Perubahan kuantitatif ke perubahan kwalitatif
Hukum umum dialektika yang kedua ini menyatakan,
bahwa proses perkembangan dunia material atau dunia kenyataan objektip terdiri
dari dua tahap. Tahap pertama adalah perubahan kuantitatif yang berlangsung
secara perlahan, berangsur atau evolusioner. Kemudian meningkat ketahap kedua,
yaitu perubahan kualitatif yang berlangsung dengan cepat, mendadak dalam bentuk
lompatan dari satu keadaan ke keadaan lain, atau revolusioner. Perubahan
kuantitatif dan perubahan kualitatif merupakan dua macam bentuk dasar dari
segala perubahan. Segala perubahan yang terjadi dalam dunia kenyataan objektif
itu kalau bukan dalam bentuk perubahan kuantitatif, maka dalam bentuk
kualitatif.
a. Pengertian tentang kuantitas
adalah jumlah dalam arti seluas-luasnya tidak
terbatas mengenai ruang (banyak-sedikit, besar-kecil, panjang-pendek,
tebal-tipis) dan waktu (lama-sebentar, cepat-lambat) saja tapi juga mengenai
pikiran dan perasaan (tinggi-rendahnya kesadaraan politik, kuat-lemahnya keyakinan
atau kepercayaan, dalam-dang-kalnya pengetahuan, besar-kecilnya minat atau
pengetahuan) sebagai contoh:
Kuantitas-kuantitas tertentu yang dimiliki seorang
juara bulu tangkis, selain kuat keadaan fisiknya, stamina, cepatnya gerak,
pengalaman bertanding dan latihan dll. Demikian pula bagi seorang kader
revolusioner, selain ketentuan-ketentuan formal dalam konstitusi organisasi,
seperti umur dan masa calon anggota, maka yang terpenting lainnya ialah
kesadaran kelas dan kesadaran politik, yang hal itu terbentuk dari aktivitasnya
dalam keterlibatan dalam perjuangan massa rakyat pekerja, dan semangat juangnya
yang tinggi. Dari uraian di atas maka dapat dilihat bahwa kuantitas dan
kualitas itu tak dapat dipisahkan satu sama lain, kuantitas tertentu membentuk kualitas
tertentu pula.
b. Pengertian tentang kualitas
adalah ciri yang membedakan hal yang satu dengan
yang lain. Kita dapat membedakan minyak dari air, demikian jua kita dapat
membedakan antara kaum buruh dan kaum tani, antara desa dan kota, karena kualitas
mereka berbeda satu dan lainnya. Telah dinyatakan, bahwa kuantitas-kuantitas
tertentu yang dimiliki oleh sesuatu hal membentuk dan menunjukkan kualitas
tertentu dalam sesuatu hal itu. misalnya, antara ormas kaum buruh dan partai
politik kelas buruh, mempunyai ketentuan susunan intern yang berlainan, antara
lain adalah keterikatan para anggota dari organisasi massa kaum buruh itu
berdasarkan terutama pada kepentingan sosial ekonominya, sedangkan dalam partai
buruh, sangat berdasarkan pada cita-cita politiknya. Ketentuan susunan intern
mereka secara praktis dinyatakan selengkapnya dalam anggaran dasar organisasi
mereka masing-masing dan aktivitas mereka sehari-hari dalam mewujudkan program
mereka masing-masing. Jelas kiranya bahwa kualitas yang mencirikan sesuatu hal
itu adalah pernyataan dari ketentuan susunan internnya.
c. Perubahan kuantitatif
Perubahan kuantitatif seperti telah dikemukakan
berlangsung secara perlahan-lahan dan tidak menyolok. selama dalam proses
perubahan kuantitatif tersebut, kualitasnya nampak tidak berubah. Keadaan itu
disebut kemantapan relatip kualitas.
Keadaan kemantapan relatip kualitas tersebut
mempunyai batas tertentu. Bila perubahan kuantitatif melampaui batas itu maka
rusaklah kemantapan relatip kualitas itu yang berarti kualitasnya mengalami
perubahan. Misal, seceret air dibawah tekanan udara biasa, apabila penambahan
suhunya tidak melampaui batas 100 derajat celcius, cirinya sebagai cairan masih
dapat dipertahankan, tapi bila perubahan suhu melampaui batas itu, maka kualitas
cairan mengalami perubahan menjadi uap. Demikian pula perkembangan rakyat
revolusioner bila melampaui batas tertentu, akan menjadi suatu revolusi sosial,
hingga kualitas masyarakat lama akan disingkirkan oleh masyarakat baru. Oleh
karena itu dalam proses perubahan kuantitatif, kualitas nampaknya tidak
mengalami perubahan apa-apa, maka seakan-akan perubahan kuantitatif itu tak ada
hubungannya dengan kualitas. Dari uraian singkat di atas kita dapat melihat
bahwa perubahan kuantitatif adalah persiapan untuk perubahan kualitatif, atau
dengan kata lain, bahwa perubahan kualitatif menyelesaikan atau mengakhiri
perubahan kuantitatif yang sedang berlangsung, dan menimbulkan atau melahirkan
perubahan-perubahan kuantitatif yang baru.
Hal yang sangat sederhana ini perlu ditandaskan
karena ada sebagian orang hanya mau mengakui perubahan kuantitatif saja tetapi
tidak mengakui adanya perubahan kualitatif. Mereka berpendapat di dunia ini tak
ada perubahan yang melahirkan hal yang baru, karena menurut mereka anak ayam itu
sejak semula telah berada di dalam telur hanya saja masih terlalu kecil dan
tersembunyi di dalam telur hingga tak dapat kita lihat. Kemudian setelah
mengalami perubahan kuantitatif, ia tumbuh semakin besar hingga pada saat ia
mampu memecahkan kulit dinding telur yang melindunginya dan menampakkan dirinya
di dunia ini. Demikian juga kata mereka, bahwa penindasan dan penghisapan oleh
manusia atas manusia sudah ada sejak adanya manusia di bumi ini. Kalau semula
penindasan dan penghisapan itu dilakukan dengan cara primitif, sederhana,
terbuka dan tidak intensif, tepi setelah mengalami perubahan-perubahan
kuantitatif maka penghisapan mengambil bentuk yang terselubung, halus dan makin
intensif.
Pandangan metafisik (non-dialektis) semacam ini
dapat menyesatkan kita. Dia merupakann basis filosofis kesalahan-kesalahan
reformis di dalam bidang politik, hingga membuat orang merasa puas dengan hanya
perubahan-perubahan reformis atau perbaikkan tambal sulam rakyat pekerja, tanpa
menghendaki adanya pembebasan rakyat pekerja dari penghisapan manusia lainnya,
tidak menghendaki adanya perubahan revolusioner untuk mengubah sistim
masyarakat penindasan. Sudah tentu pandangan filosofis semacam ini
menguntungkan dan dipelukan oleh kelas-kelas penghisap dalam mempertahankan
kekuasaan dan penghisapannya. Padahal, satu abad yang lalu Hegel telah
mengemukakan dengan tepat, bahwa peralihan dari alam yang tak berperasaan ke
alam berperasaan, dari alam an-organik ke alam kehidupan organik, merupakan
lompatan keadaan yang baru sama sekali.
Pernyataan Hegel ini bukanlah spekulatif, melainkan
berdasarkan pada hasil-hasil pengembangan ilmu pengetahuan pada waktu itu, baik
ilmu alam maupun ilmu sosial. Masyarakat komune primitif waktu itu belum
mengenal penghisapan manusia oleh manusia dan masyarakat penghisapan ini baru
lahir setelah komune primitif ini mengalami keruntuhannya, di mana kerja
seseorang dengan alat-alat kerja yang relatif lebih maju dapat menghasilkan
hasil lebih, sehingga memungkinkan terjadinya penghisapan atas manusia oleh manusia
dan melahirkan sistim pemilikan budak.
Dengan memiliki pengertian, bahwa
perubahan-perubahan kuantitatif menyiapkan suatu perubahan kualitatif yang
revolusioner, maka kita tak akan mudah terjebak oleh teori-teori seperti:
kapitalisme kerakyatan, negara kapitalis yang berorientasi sosialis,
perkembangan kapitalisme ke sosialisme secara damai, memperjuangkan masyarakat
industri yang non-kapitalis dan non-sosialis dan sebagainya, yang dijajakan
oleh teoritikus-teoritikus borjuis dan revisionis.
Sebagaimana selalu diingatkan oleh pejuang-pejuang
besar revolusi, bahwa kelas penghisap yang berkuasa tak akan pernah dengan
sukarela menyerahkan kekuasaannya, bahwa rakyat tertindas harus melakukan
perjuangan revolusioner untuk membebaskan dirinya.
d. Perubahan kualitatif
Sebagaimana telah dikemukan sebelumnya bahwa
perubahan kualitatif itu terjadi secara mendadak, cepat dalam bentuk lompatan
dari satu keadaan ke satu keadaan lainnya. Sedikit mengulangi tentang telur
ayam selama dalam proses perubahan kualitatif dalam masa pengeraman, cirinya
yang berbentuk telur itu nampak tepat tak berubah, masih tetap bertahan, atau
masih dalam kemantapan relatif. Tetapi begitu perubahan kuantitatif melampaui
batas relatif kualitasnya, terjadilah perubahan kualitatif dengan mendadak.
Perubahan kuantitatif yang berlangsung dalam telur itu segera berhenti atau
terputus, kemantapan relatif kualitasnya sebagai telur tak dapat dipertahankan
lagi dan lenyap seketika itu juga. Sebagai gantinya muncullah anak ayam yang
ciri atau kualitasnya berlainan dengan telur tadi. Demikianlah kita melihat
perubahan dari telur ke anak ayam itu merupakan suatu lompatan yang disebut
keterputusan kesinambungan. Artinya terputusnya keadaan kesinambungan perubahan
kuantitatif atau kemantapan relatif kualitasnya. Mengenai perubahan kualitatif
ini, Engels di dalam bukunya "Dialektika alam" mengemukan bahwa
"kimia boleh dikatakan ilmu tentang perubahan kualitatif yang terjadi
dalam benda sebagai akibat perubahan kuantitatif komposisinya. Contohnya
oksigen atau zat asam apabila molekul itu terdiri dari 3 atom dan bukan 2
sebagaimana biasanya maka kita mendapatkan ozon yaitu suatu benda yang dalam
hal bau dan reaksi kimianya sangat berlainan dengan zat asam biasa. "
Kelanjutannya, oleh karena perubahan kualitatif itu
terjadi secara mendadak, merupakan lompatan dari suatu lompatan keadaan ke
keadaan lainnya, atau terputus sama sekali kesinambungannya dengan keadaan
sebelumnya, maka ada sementara orang mengira bahwa perubahan kualitatif itu
terlepas dari perubahan kuantitatif, tak ada hubungan sama sekali dengan
kuantitas atau perubahan kuantitatif. Mereka tak mau mengeakui perubahan
kuantitatif, dan hanya mengakui perubahan kualitatif saja. Meletusnya gunung
krakatau satu abad yang lampau hingga gunung tenggelam ke dasar laut, menurut
mereka, merupakan perubahan kualitatif yang mendadak tanpa melalui perubahan
kuantitatif. Demikian juga mereka menganggap, misalnya meletusnya revolusi '45
terjadi secara mendadak dalam momentum yang kebetulan, sama sekali tak ada
hubungannya dengan perubahan-perubahan kuantitatif sebelumnya, yang berupa
gerakan massa rakyat. Katanya lagi, ibarat meletusnya sebuah petasan, yang
hanya dengan menyulut sumbunya saja (maksudnya, cukup dengan agitasi atau
menghasut massa rakyat)
Pandangan ini juga suatu jenis metafisik, yang dapat
menyesatkan kita dengan melakukan kesalahan-kesalahan avonturis di bidang
politik, misalnya kendak menyelesaikan suatu revolusi sosial dengan kudeta
militer atau avonturisme militer. Padahal pejuang-pejuang besar revolusi,
selalu mengingatkan kita bahwa revolusi adalah urusan dan karya rakyat,
merupakan puncak dari perjuangan rakyat untuk membebaskan dirinya. Rakyat
pekerja tak akan dapat dibebaskan oleh siapapun, kecuali oleh perjuangan mereka
sendiri. Kesadaran politik dan organisasional pada rakyat sangat menentukan
sebuah revolusi rakyat.
Telah diketahui, bahwa setiap perubahan yang terjadi
dalam kuantitas dengan sendirinya menimbulkan perubahan juga dalam kualitas.
Sebagai contoh, air yang dipanasi sehingga suhunya meningkat, perubahan
kuantitatif ini dengan sendirinya menimbulkan perubahan dalam kualitas atau
cirinya. Sebagaimana dapat kita saksikan, misalnya gerak molukel makin cepat,
daya kohesi antar molukel makin longgar, hingga kita dapat membedakan air panas
dan air dingin. Akan tetapi perubahan semacam ini tidak termasuk dalam
pengertian perubahan kualitatif.
(selesai bagian pertama)
Ditulis
ulang oleh: JALAN TERANG -INDONESIA)
Materialisme Dialektika (9)
Berbarengan dengan cara pandang materialis dan
pengetahuan ilmiah bergerak maju dan menjadi penting pada waktu kebangkitan
kapitalisme (abad 17 dan 18) materialisme mengambil bentuk materialisme
mekanis. Yakni, bahwa alam dan masyarakat dilihat sebagai sebuah mesin raksasa
di mana bagian-bagiannnya bekerja secara mekanis. Pandangan ini memudahkan
orang memahami bagian-bagian dari sesuatu hal dan bagaimana mereka
"bekerja", tetapi hal ini tidak mampu menjelaskan asal-usul dan
perkembangan sesuatu hal.
Namun demikian, akibat perkembangan masyarakat yg
cepat pada saat itu, perubahan sesuatu hal tidak bisa diabaikan begitu saja.
Ilmu Alam pada jamannya Marx dan Engels membuat lompatan besar dalam memahami
perkembangan, memahami perubahan dan transformasi dalam tubuh alam. satu contoh
kunci soal ini adalah teori Evolusi Darwin, yang memperlihatkan bagaimana
bentuk-bentuk kehidupan bergerak, berubah secara kualitatif sepanjang beberapa
tahun. Ilmu Alam kemudian mulai menggunakan konsep dialektika (paling kurag
secara implisit), menegaskan kembali perkembangan, kontradiksi dan transformasi
dalam memahami materi dan kehidupan. Seperti yg ditulis oleh Engels,
"Alam adalah batu uji dialektika, dan harus
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan modern sudah melampaui ujian ini dengan bahan-bahan
yng sangat kaya dan melimpah, dan dengan demikian memperlihatkan bahwa pada
bagian yg menentukan alam bekerja secara dialektik..." (Anti-Duhring) MD
(10)
Namun demikian, perubahan dan perkembangan bukan
saja konsep yang penting ntuk memahami alam, tetapi konsep-konsep ini secara
sadar bisa diterapkan atas seluruh area kenyataan, khususnya, pekrmbangan
masyarakat. Marx dan Engels mewarisi periode kamjuan-kemajuan ilmu pengetahuan
dan dari filsafat dialektik hegel (yang secara berat dipengaruhi oleh idelisme)
dan merumuskan pandangan dialektika materislis secara sistematik.
Prinsip dialektika dijabarkan dari analisa bagaimana
dunia sebenarnya berkembang; jadi bukan sekadar jatuh dari pikiran orang. Jadi
dialektika bukanlah skema yg dipaksakan atas kenyataan, tapi ia merupakan
seperangkat prinsip-prinsip ilmiah untuk memudahkan orang memahami kompleksitas
perubahan dan perkembangan.
Metode dialektika hanya dapat dipahami dalam
pertentangannya dengan cara pandang metafisik. berikut ini diringkaskan ciri-ciri
pokok dialektika dan melawankannya dengan cara pandang metafisik.
(1) Inter-koneksi atau saling
hubungan
Dunia merupakan kesatuan, keseluruhan yg saling
berhubngan di mana semua hal saling berkaitan dan bergantung. Sebaliknya,
metafisika melihat bahwa dunia sebagai kumpulan hal yg berdikari, independent,
terpisah.
Seorang MD dan metafisika, seabagai misal akan
mengambil pendekatan yg berbeda dalam memahami seorang individu. Seorang
metafisika akan bertanya apa yg dipirkan orang itu, apa aktivitas mereka,
bagaimana penampilannya, apa yg mereka sukai dan apa yang tidak disukai, dan
seterusnya. tetapi seorang MD akan berusaha memahmi orang tersebut dengan
memeriksa hubungannya dengan orang lain dan dunia sekitarnya dan memperlihatkan
pengalaman orang tersebut sebagai bagian dari keluarga tertentu, kelas
tertentu, ras dan masyarakat tertentu.
Arti penting pendekatan yg berbeda-beda ini adalah
bahwa jika metode MD memudahkan menemukan mengapa sesuatu itu dengan
menganalisa konteks darimana mereka muncul dan saling hubungan dengan sesuatu
yg lain; sementara itu seorang pendekatan metafisika hanya menjelaskannya pada
tingkat menggambarkan sesuatu sebatas dari dirinya sendiri.
(2) Materi
Materi selalu dan terus-menerus dalam gerak. Dunia
ini ada dalam keadaan gerak dari dia ada, berkembang, berubah dan lenyap.
Metafisika memandang bahwa dunia ada dalam keadaan diam, segala sesuatu statik,
diam, tetap dan tak berubah.
Jadi MD dan metafisika memiliki pandangan yg
berlawanan mengenai kapitalisme yg permanen. Perbedan ini jelas menunjukkan
pendirian konsevatif metafisika dan pendirian revolusioner dari dialektika.
Pendekatan metafisika secara implisit mempertahankan bahwa "tak ada
sesuatu pun yang berubah di dunia ini" dan "ini adalah dunia yg
terbaik dari semua kemungkinan yg ada" dalam pandangannya atas kapitalisme
sebagai sistem yg permanen. Ini semua menyatakan bahwa pemilikan pribadi dan
persaingan bebas sebagai kebal-nilai (tak dapat dibantah), dan bahwa
nilai-nilai ini berasal dari kualitas sifat manusia seperti persaingan,
ketamakan dsb. MD mempunyai pandangan yang panjang dan obyektif atas bentangan
sejarah dan mengakui bahwa kapitalisme tidak selalu ada, dan bahwa ia telah
mendominasi dunia selama ratusan tahun, dan selanjutnya ia dalam proses
digantikan oleh sosialisme. Tidak ada satupun sistem sosial yg permanen, apa
yang tetap adalah perkembangan dan transformasi masyarakat secara terus
menerus.
(3) Kontradiksi
Kontradiksi internallah yg secara mendasar
menentukan pertumbuhan dan perkmbangannya. faktor-faktor ekternal dan
kekuatan-kekuatan luar meletakkan kondisi material bagi sesuatu hingga ia
berkembang, tetapi tidak menentukan watak mendasar sesuatu, dan bukan merupakan
penyebab pokok geraknya.
Menegaskan kontradiksi internal sebagai dasar
perkembangannya berarti melihat sesuatu sebagai "persatuan dari
aspek-aspek yg berlawanan" di mana keduanya saling berlawanan dan bersatu,
dan pertarungan adalah sumber dari gerak sesuatu. Jadi kapitalisme terdiri dari
kesatuan dari hal-hal yg berlawanan, yakni kaum borjuis dan kelas pekerja. Di
bawah kapitalisme, dua kelas ini adalah tergantung satu sama lain, yaitu
memiliki kepentingan yang berlawanan dan karena itu terlibat dalam perjuangan
kelas yg terus-menerus. Pertarungan antara kelas dalam masyarakat kapitalis ini
yang menyebabkan perkembangan dan transformasinya.
Hanya dengan memahami persatuan dan perjuangan dari
aspek-aspek internal yang saling berlawanan ini barulah kita bisa paham mengapa
sesuatu terus berubah.
Ini akan jadi jelas jika kita kontraskan dengan metafisika
yang melihat sesuatu sebagai kesatuan dalam dirinya sendiri dan menjelaskan
terjadinya perubahan sebagai akibat faktor-faktor luar. Misalnya, kaum borjuis
menggunakan metafisika untuk menjelaskan revolusi di dunia tertindas sebagai
akibat "Iblis kekaisaran Soviet", atau akibat campur tangan luar
komunis subversif. Tentu saja, ini adalah penolakan menyeluruh atas kontradiksi
internal dalam masyarakat-masyarakat tersebut yg menyebabkan revolusi.
(4) Kuantitas ke dalam kualitas
Sesuatu (barang atau peristiwa) berkembang melalui
perubahan secara kuantitatif yg pada umumnya bertahap dan secara halus; dan
secara kualitatif berubah secara sekonyong-konyong yang merubah menjadi sesuatu
yang baru. Perubahan kualitatif merupakan hasil akumulasi/penumpukkan perubahan
kuantitatif dan membawa perkembangan progresif dari sesuatu yang lama/tua
menjadi baru, dan dari sederhana menjadi kompleks.
Metafisika, pada tingkat tertentu mengakui
perubahan, hanya melihat perubahan kuantitatif di mana sesuatu tumbuh menjadi lebih
besar, lebih kecil, lebih kuat, lebih lemah dsb, dan masa lalu mengulangi
dirinya sendiri. pandangan metafisika menolak perubahan kualitatif yang merubah
sesuatu dan mendorong maju menjadi sesuatu yang baru.
Perubahan dialektik yang bergerak dari kuantitas ke
kualitas niscaya terjadi dalam banyak bidang. Esai Stalin menyebutkan hal ini,
termasuk contoh yg menyolok mata adalah evolusi. melewati adaptasi dan
perkembangan selama ratusan tahun, spesies awal berubah secara kualitatif
menjadi spesies baru, homo sapiens atau manusia. Dalam kehidupan sehari-hari
dari perubahan kuantitas ke kualitas, contohnya adalah bagaimana air, secara
bertahap berubah menjadi lebih panas atau lebih dingin (perubahan kuantitas)
berubah menjadi uap atai es (berubahan secara kualitas).
Dan dalam soal masyarakat juga terdapat jurang
perbedaan yang memisahkan pandanagan metafisika yg konservatif dengan pandanagn
dialektika yg revolusioner mengenai bagaimana dunia berubah. Sudah tentu, dalam
dunia sosial perubahan terjadi tidak secara otomatis sifatnya, sebagaimana
terjadi dalam alam. Perubahan sosial disebabkan oleh rakyat melalui aksi dan
saling aksi. Jadi, pandangan rakyat yg menentukan apa jenis perubahan dan
bagaimana dilakukan, dibentuk oleh kondisi sosial mereka dan kedudukan
kelasnya.
Cara pandang metafisika kelas berkuasa perubahan
revolusioner dan kualitatif dalam perubahan masyarakat dan berpendirian bahwa
perubahan secara bertahap, gradual, perubahan kuantitaif lah yang diperlukan
untuk mengembangkan dan menyempurnakan masyarakat kapitalis sekarang ini.
Pandangan MD dari kelas pekerja, di pihak lain,
memandang perubahan kualitatif, revolusioner sebagai puncak perjuangan untuk
mengembangkan medan memajukan masyarakat. Kehendak revolusi bukan untuk
menyempurnakan kapitalisme, melainkan untuk menggantikannya dengan sosialisme. MD
(16)
Relevansi pertarungan antara
Dilektika dan Metafisika dengan Perjuangan kelas
Contoh-contoh sebelumnya sudah menggambarkan
bagaimana pandangan metafisika atas masyarakat mewakili kepentingan kaum
borjuis. Hal ini tidak mengejutkan karena keinginannya (dan juga kelas-kelas
berkuasa sebelumnya) untuk mamamerkan kepentingan kelasnya sebagai permanen dan
tak berubah. Kelas borjuis tak pernah henti-hentinya menganjurkan cara berpikir
metafisika kepada kelas pekerja, sebagai usaha untuk membuktikan bahwa sistem
kapitalis berharga dan permanen dan menyingkirkan adanya pertentangan kelas.
Cara berpikir metafisika juga menyusup ke dalam
gerakan revolusioner sendiri, dalam bentuk pikiran yang menganjurkan jalan
damai, reformis dan evolusioner dari kapitalisme ke sosialisme. Mereka ini
gagal dan tidak mengakui bahwa revolusi sosialis sebagai perubahan kualitatif
bagi masyarakat kapitalis.
Bagi kelas pekerja, dialektika merupakan alat
penting untukmemahami mengapa dunia seperti sekarang ini, menganlisanya
bagaimana ia berubah dan mengerti bagaimana rakyat yang sadar bisa merubahnya.
KESIMPULAN
Sebelum pendirian MD oleh Marx, bentuk materialis
yang ada adalah pandangan yang mekanis, non-dialektika, dan Hegel, seorang
dialektikus, menganjurkan versi idealis dari dialektika. Kaum filsuf tidak
mampu mengembangkan materislisme yang konsisiten dan meneyeluruh karena pada
analisa akhir, mereka menerima pandangan borjuis yang ada. Mereka tidak sudi
melihat secara lengkap, termasuk privelese kelas, hak milik perorangan dan
ketimpangan sosial sebagai faktor bagi perubahan sosial.
Marx dan Engels akhirnya berhasil mengembangkan
sintesis materialisme dan dialektika sebab mereka mendasarkan filsafatnya pada
aspirasi revolusioner dan cara pandang kelas pekerja. kelas pekerja memiliki
kepentingan dalam memahami masyarakat sebagaimana adanya "tanpa
terkecuali" dan sebuah kelas untuk perubahan, termasuk perubahan
revolusioner, dapat menjadi kekuatan pembebas.
MD adalah filsafat revolusioner kelas pekerja. Ia
memberikan arah umum bagi dunia dan peranan manusia dan menyediakan seperangkat
prinsip-prinsip ilmiah untuk menjawab masalah-masalah politik dan parktis;
namun demikian ia menyediakan kerangka yang pasti untuk memperoleh jawaban.
Juga MD merupakan dasar-dasar dari semua teori Marxis dan pandangan khusus
terhadap sejarah, ekonomi dan politik.
Studi kita yg singkat sudah meletakkan garis besar
MD, arti petingnya filsafat Marxis dalam memahami dunia, perjuangan kelas dan
kerja politik di mana kita terlibat. Untuk bisa paham sepenuhnya sudah tentu
harus dilanjutkan dalam proses yang akan terus berjalan, dan mendalaminya dalam
studi dan praktek.
Ringkasan MD
Idealisme dan materialisme menjawab masalah hubungan
antara dunia ide dan dunia material. Dua cara pandang filsafat ini muncul untuk
menjawab yang manakah yang lebih utama dan menentukan.
A. Idealisme:
1.
Ide-ide,
spirit sebagai kenyataan pokok/prinsip.
2.
Ide-ide
dan spirit membentuk dan menentukan dunia material.
3.
Dunia
ini penuh berisi segala sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh manusia dan ilmu
pengetahuan.
B. Materialisme
1. Dunia
material adalah kenyataan pokok.
2. Dunia
material adalah sumber ide-ide.
3. Dunia material ini dapat dijelaskan dan
dipahami melalui pengalaman manusia dan ilmu pengetahuan.
Metafisika dan Dialektika keduanya berkaitan dan
menjawab masalah perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam alam dan
masyarakat.
A. Metafisika
1.
Fenomena
atau gejala dilihat secara terpisah
2.
Keadaan
alamiah adalah statik, diam.
3.
Segala
sesuatu bersatu dalam dirinya sendiri dan perubahan disebabkan oleh
faktor-faktor luar.
4.
Hanya
ada perubahan kuantitatif.
B. Dialektika
1.
Fenomena
dilihat dalam salinghubugannya dan salingketergantungannya.
2.
Keadaan
alamiah sesuatu hal adalah terus-menerus berubah.
3.
Kontradiksi
ada secara internal dalam suatu hal dan perubahan pada dasarnya akibat
faktor-faktor internal ini.
4.
Ada
perubahan kuantitatif dan kualitatif. Perkembangan terjadi dari sederhana ke
rumit, dari rendah ke tinggi.
POINT-POINT
DISKUSI MD
1.
Ringkaskan
perbedaan antara materialisme dan idealisme. bagaimana agama dan bentuk
idealisme lain memainkan peran reaksioner dalam masyarakat, membela status quo
dan cara pandang kelas berkuasa. bagaimana materialisme mengabdi kepentingan
kelas pekerja?
2.
Jelaskan
perbedaan antara pandangan metafisika dan dialektis terhadap perkembangan dan
perubahan. Tunjukkan bagaimana sifat/ciri dialektika?
3.
Marxisme
berpendirian bahwa dialektika tidak saja menjelaskan alam, tetapi juga
masyarakat. Pilihlah fenomena sosial (misalnya rasisme (?)). Apakah pandangan
metafisika atas hal ini? Dan bagaimanakah pandangan dialektika?
4.
Dengan
menggunakan metode dialektika, coba bahas dan diskusikan sebuah contoh
bagaimana materialisme dialektika bekerja dalam kerja politik anda. bagaimana
materialisme dialektika menyingkap hakekat aneka fenomena?
5.
Akhirnya,
jelaskan bagaimana filsafat Marxis berwatak ilmiah dan partisan (memihak
kepentingan kelas pekerja)?
PRAKTEK
DAN KEBENARAN
Kehidupan
dan perkembangan progresif masyarakat, di mana gambaran esensialitasnya telah
didiskusikan dalam bab yang sebelumnya, hanya memungkinkan dengan memperbesar
kontrol manusia atas alam dan penetrasinya ke dalam semua rahasianya. Pepatah
bijak mengatakan, bahwa pengetahuanlah teman terbaik. Pengetahuan manusia
menjamin dominasi manusia atas elemen-elemen alam. Pengakuan dan pengembangan
pengetahuan merupakan proses di mana manusia mengamati realitas yang ada di
sekitarnya. Doktrin dan esensi pengetahuan, serta struktur dan hukum proses
kognitif disebut teori pengetahuan atau epistemologi.
1.
Aspek Kedua dari Persoalan Fundamental Filsafat
Persoalan fundamental dari filsafat, yaitu
hubungan pemikiran ke keberadaan, dari kesadaran ke materi, sebagaimana yang
sudah saya kemukakan, memiliki aspek kedua sebagai tambahan dari aspek pertama
(Mana yang lebih utama: materi atau kesadaran?). Aspek kedua ini lebih
memperhatikan pada persoalan apakah pemikiran kita mampu mengenal dunia nyata,
dan apakah kita mampu secara tepat merefleksikan di luar realitas yang ada
dalam pikiran kita, tentang realitas tersebut. Para filsuf menyebutnya sebagai
persoalan identitas pikiran dan keberadaan.
Sebagian besar filsuf telah memberikan
jawaban afirmatif pada persoalan di muka. Mereka disebut agnostis. Filsuf
Jerman, Kant misalnya, memperkenalkan dunia nyata di luar manusia, namun
mempertahankan bahwa hal itu, secara prinsipil tidak dapat diketahui, selama
seperti yang dikatakannya, terdapat hambatan atau jurang yang tidak dapat
dilewati di antara fenomena ("sesuatu menurut kita"; Ding-fur-uns)
dan esensi ("sesuatu itu sendiri"; Ding-an-sich). Segera setelah
manusia membuat segala pembenaran mengenai "sesuatu itu sendiri",
Kant menyatakan, maka pemikiran manusia berhadapan dengan kontradiksi yang
tidak terpecahkan, atau antinomi, sehingga mengkhianati ketidakmampuannya yang
dinyatakan. Kant meyakini bahwa sebuah transisi dari fenomena menuju pada
sesuatu itu sendiri hanya memungkinkan melalui kejujuran.
Representasi
dari skeptisisme filsafat, khususnya yang terdapat dalam pemikiran seorang
filsuf Inggris di abad ke 18, David Hume, juga agnostis. Mereka menolak
kemungkinan mengetahui realitas, dengan menyatakan bahwa, kesemuanya meragukan
apakah sesuatu yang berada di luar kita, di luar perasaan kita juga. Untuk
mendukung pemikirannya, kaum skeptis berargumen bahwa penilaian yang
beralawanan dapat diungkapkan tentang sesuatu dan obyek yang sama, bahwa
manusia hanya bersepakat dengan sensasinya sendiri, dan tidak mengetahui dari mana
kerangka persepsinya datang, dll.
Para
pendukung irasionalisme --Nietzsche, Bergson (1859-1941), dll--mengadopsi satu
pijakan yang terlalu agnostisisme. Mereka mempertahankan pendapat bahwa dunia
tidak mampu dipahami, karena ketiadaan regularitasnya. Keberadaan adalah sebuah
aliran berbagai kejadian yang tidak beraturan, sebuah evolusi kreatif, yang
tidak logis, sementara pemikiran menghasilkan logika. Logika bersesuaian dengan
keteraturan, dengan sebab dan akibat, sementara alam nyata, seperti yang didesakkan
kaum irasionalis, tidak memiliki itu. Oleh karenanya, tidaklah mungkin untuk
memasuki pengetahuan dunia yang logis. Kaum agnostis justru menekankan bahwa
dalam prinsip, pikiran tidak dapat diidentifikasi dengan kenyataan.
Agnostisisme
disebarluaskan dalam filsafat idealis borjuis modern. Hal ini menjadi jelas,
khususnya dalam Kongres Filsafat se-Dunia ke 16. Beberapa laporan yang
disampaikan dalam kongres itu, memperkuat tesis bahwa faktor irasionalitas
adalah primordial bagi manusia, bahwa "ilmu pengetahuan tidak dapat
berpikir". Oleh karenanya harus dilengkapi dengan sebuah doktrin agama
tentang keberadaan, dsb. Secara konseptual, agnostisisme merupakan satu
filsafat yang reaksioner. Secara sosial hal ini mengekspresikan ideologi klas
penghisap yang berusaha memisahkan manusia yang bekerja dari tindakan
mengetahui realitas yang ada. Agnostisisme membelenggu aktivitas dan inisiatif
kreatif manusia. Selama, jika dunia tidak mampu dipahami dan pengetahuan tidak
mampu menemukan hukum-hukum perkembangan masyarakat, maka manusia tidak dapat
secara sadar merubah dan mentransformasi realitas.
Agnostisisme
bertentangan dengan banyak representasi yang menonjol dari filsafat
pra-Marxian, baik itu kaum idealis maupun kaum materialis. Mereka berargumen
untuk kemampuan diketahuinya dunia. Namun kaum idealis dan kaum materialis
secara mendasar berpegang atas pendapat yang berbeda tentang hal ini. Kaum
idealis beranggapan bahwa keberadaan yang sesungguhnya adalah dengan bentuk
ideal alamiahnya, seperti diketahui pikiran. Sehingga mereka mengidentifikasi
keberadaan dan pikiran sebagai sebuah proses dengan mana semangat mengerti
dengan sendirinya. Kaum idealis obyektif, salah satunya Plato, menyatakan bahwa
manusia mengetahui kebenaran melalui "rekoleksi". Untuk tujuan ini,
Plato percaya bahwa, manusia harus menyingkirkan semua yang jasmaniah, sensual
dan harus menutup mata dan telinganya, dan menarik kembali ke dalam observasi
diri untuk mencoba "mengingat" apakah jiwa abadinya diduga telah
mengalami dalam dunia ide yang sesungguhnya.
Beberapa
pandangan yang sama tentang pengetahuan ditemukan dalam doktrin kaum idealis,
dari sekolah Vedanta (abad 4 S.M.). Menurut pandangan ini, hanya terdapat satu
obyek murni, yaitu Brahman. Hal ini hanya dapat diketahui melalui latihan yang
teratur. dengan mengenyampingkan semua yang duniawi, secara teratur
meningkatkan kemampuan mengendalikan jiwa, menekan emosi, mengendalikan hawa
nafsu dan melatih kesabaran, konsentrasi, serta kualitas yang lainnya, maka
kaum Yogis membangkitkan dalam diri mereka, harapan yang meluap-luap untuk
membebaskan pikiran mereka sendiri. Akibatnya, seperti yang dipikirkan kaum
idealis India, adalah kelahiran pengetahuan yang sempurna. Dengan demikian
pengetahuan tentang Brahman membebaskan semua dosa.
Dalam
pemikiran Hegel satu jawaban afirmatif pada persoalan tentang identitas pikiran
dan keberadaan juga sudah jelas: dalam dunia nyata kita mengetahui secara tepat
isinya yang mampu dimengerti, sejauh mana realitas itu sendiri mampu
dipikirkan. Dalam analisis akhir pengetahuan adalah sebuah proses kesadaran
diri dari Ide Absolut.
Oleh
karenanya bagi kaum idealis, ketika mereka memberikan satu jawaban yang positif
untuk aspek kedua dari persoalan fundamental filsafat, maka "pengetahuan
murni" adalah sekedar yang Absolut, Idea, Brahman, dan sebagainya,
sehingga kritisismenya terhadap agnostisisme tidak konsisten. Kenyataannya
idealisme dan agnostisisme berhubungan satu dengan yang lainnya. Agnostisisme
hanya bisa benar-benar dihajar telak melalui sudut pandang filsafat materialis.
Bagi
paham idealisme pikiran dan keberadaan itu identik, karena keberadaan itu
sendiri diinterpretasi sebagai sesuatu yang ideal. Namun bagi materialisme,
jawaban untuk aspek kedua dari persoalan fundamental filsafat berangkat dari
prinsip refleksi. Pikiran itu identik dengan kenyataan hanya dalam kerangka
bahwa pikiran merefleksikan kenyataan. Sebagaimana refleksinya, maka pikiran
adalah sekunder bagi keberadaan, bagi materi. Identitas untuk pikiran dan
keberadaan oleh karenanya hanya dapat dipertautkan dalam kerangka
epistemologis, misalnya, pada tataran kemampuan diketahuinya dunia. Salah
seorang materialis Perancis di abad ke 18, Feuerbach dan para filsuf lainnya,
menegaskan keyakinan mereka tentang kekuasaan dari intelek dan emosi manusia.
Namun teori pengetahuan dari paham materialisme pra-Marxian dibatasi oleh
karakter kontemplatifnya. Kaum materialis pra Marxian kurang mampu memahami
sepenuhnya kualitas aktif dari pemikiran manusia. Bagi mereka, manusia
ditakdirkan hanya untuk sebuah persepsi yang pasif di luar berbagai pengaruh.
Lebih jauh lagi, mereka hanya mengambil satu individu yang terisolasi sebagai
subyek pengetahuan dan tanpa memperhatikan alam sosio-historis dari kesadaran
manusia. Keberagaman proses merefleksikan realitas diinterpretasi sepihak oleh
mereka, dengan cara yang amat ekstrem, seperti sesuatu yang segera, langsung
dan seolah-olah reproduksi cermin dari esensi obyek dalam kesadaran manusia.
Kesemua cacat ini dapat diasalkan pada satu yang utama, yaitu pemikiran materialis
pra Marxian, sebagaimana juga pemikiran idealis, yang gagal untuk memahami
peran yang menentukan dari praktek sosio-historis dalam proses pengetahuan.
2.
Peran Determinan Praktek dalam Pengetahuan
Para
filsuf pra Marxian biasanya mempertentangkan pengetahuan dengan aktivitas
material dan tindakan sosial manusia. Mereka memperlakukan pengetahuan sebagai
satu penyelidikan subyektif untuk kebenaran, sebagai sekedar produk
keingintahuan yang sama sekali tidak dikondisikan oleh satu persyaratan aktual
pun. Biasanya, problem untuk kemampuan diketahuinya dunia ditangani dalam
teori. Dan walaupun para teoritisi memproduksi beberapa argumen yang cukup
meyakinkan untuk melawan agnostisisme, namun selanjutnya tidak pernah
benar-benar disingkirkan. Kenyataannya adalah bahwa pengetahuan bukanlah sebuah
semangat yang murni, persyaratan intelektual dari manusia. Secara tak
terhindarkan, hal ini terikat dalam akarnya yang terdapat dalam aktivitas
material obyektif manusia, terikat dengan praktek. Dan dalam praktek-lah agnostisisme
disingkirkan sama sekali.
Manusia
pertama kali berhubungan dengan dunia dalam kerangka praktis, dengan
mentransformasikan dunia secara aktif, untuk memenuhi kebutuhan materialnya.
Hanya melalui interaksi material dengan alam mereka dapat membentuk sikap
teoritis terhadap alam. Dalam merubah sebuah bahan untuk memproduksi obyek atau
alat tertentu, manusia harus memilah-milahkan jenis-jenis batu, kayu, logam
yang khusus, dll, di awal tahap sejarahnya. Sehingga realitas diketahui, dan
pengetahuan tentangnya diperoleh dalam proses kerja langsung. Konsekuensinya,
pengetahuan lahir dari praktek dan berkembang atas dasar praktek. "Pijakan
dari kehidupan, yaitu praktek, harus menjadi yang pertama dan fundamental dalam
teori pengetahuan", demikian tulis Lenin. Persyaratan untuk praktek sosial
selalu menjadi basis, kekuatan pendorong, dan sumber pengembangan pengetahuan.
Kebutuhan untuk mengukur luas tanah, menentukan kapasitas tong air,
memperhitungkan waktu, perhitungan dagang, dll, telah merangsang pengembangan
pengetahuan matematis. Kebutuhan untuk membangun rumah, kanal, waduk, kapal,
dan sarana transportasi lainnya, untuk memproduksi peralatan untuk mengangkat
sesuatu dan untuk kegunaan lainnya, senjata, dll., telah merangsang
pengembangan untuk mekanika.
Pada
saat ini pula, persyaratan praktis menentukan perkembangan pengetahuan ilmiah.
Hal ini terjadi dalam matematika, sebuah ilmu pengetahuan yang menampilkan
kecenderungan yang nyata untuk meningkatkan gagasan-gagasannya melalui logika
di dalamnya sendiri. Kebutuhan untuk memindahkan informasi melalui saluran
komunikasi telah muncul, misalnya, untuk sebuah ilmu pengetahuan yang baru,
teori informasi. Dengan memunculkannya atas dasar praktis, teori ini sendiri
dipengaruhi beberapa bidang matematika klasik, seperti teori fungsi, teori
kemungkinan dll. Produksi industrial modern dan perancangan struktur-struktur
yang baru, geodesi, manajemen ekonomi dsb., meminta sejumlah perhitungan,
komputer elektronik diciptakan untuk memenuhi kebutuhan praktis ini. Penggunaan
komputer menghasilkan banyak kecenderungan baru dalam penelitian matematis,
seperti memprogram komputasi dan beberapa problem bagi komputer, teori
automata, teori algoritma dsb.
Praktek
bukan hanya pijakan awal dan basis bagi pengetahuan, namun juga merupakan
tujuannya. Manusia mengetahui hukum alam dalam rangka menaklukkannya dan
merubahnya untuk bisa melayaninya. Pengetahuan tentang hukum-hukum sosial
diperlukan baginya untuk mempengaruhi kejadian-kejadian historis sehubungan
dengan kepentingan massa pekerja.
Lalu
konsep praktek apa yang dipahami oleh dialektika materialisme? Pertanyaan ini
penting karena begitu banyak filsuf idealis menggunakan istilah
"praktek" atau "pengalaman" untuk mengkaburkan esensi dari
doktrin-doktrin mereka. Kaum idealis subyektif menginterpretasi praktek sebagai
pengalaman manusia yang menyentuh perasaan. Bagi mereka, sesuatu hanya muncul
dalam pengalaman subyek, dan pengalaman hanyalah jumlah keseluruhan dari
berbagai sensasi, satu kompleksitas elemen dalam kesdaran diri manusia. Sejenis
dengan pandangan ini adalah pandangan dari para filsuf pragmatis borjuis
modern. Menurut Pragmatisme, praktek adalah organisasi, melalui satu usaha dari
keinginan dan perhatian, dari aliran kesadaran yang tidak beraturan, serta
perasaan dan emosi manusia. Perubahan mengambil tempat dalam
"praktek" yang bukan dalam fakta, atau dalam dunia fisik nyata, namun
dalam diri subyek itu sendiri. Pragmatisme sebagai bagian khusus dari idealisme
subyektif, menterjemahkan aspek aktif dalam pemikiran manusia sebagai yang
obyektif, yang mana sama dengan idealisme secara umum.
Sebuah
konsep ilmiah tentang praktek merupakan hasil dari sebuah solusi materialis
terhadap persoalan filsafat yang fundamental. Sesuatu tidaklah diciptakan dalam
pengalaman manusia, namun diketahui melalui merefleksikan realitas dalam
praktek. Praktek memiliki satu karakter yang konkret, historis; aktivitas
manusia yang bertujuan, yang memiliki obyek-material, yang terlibat dalam
perubahan dunia obyektif yang eksis di luar kesadarannya. Tindakan praktis
berbeda dari tindakan spiritual atau tindakan pikiran (operasi logis, fantasi,
doa-doa, dsb) yang dalam hal ini menganggap a) kontak manusia dengan obyek
alam, masyarakat, atau bentuk-bentuk hubungan tertentu manusia; b) pengeluaran
sejumlah energi fisik tertentu, seiring dengan energi mental; c)
pengkoordinasian rencana tindakan sesuai dengan esensi dan kekayaan dunia,alam
atau masyarakat yang diubah dalam bidang tindakan ini.
Dengan
demikian di atas segalanya, praktek membentuk aktivitas produksi material
manusia, yang merupakan aspek utama dan menentukan dari aktivitas manusia
secara umum. Apa yang termasuk di dalamnya adalah kerja manusia dalam industri,
pertanian, transportasi, komunikasi, dan lingkup produksi material lainnya. Bentuk
praktek yang mendasar ini termasuk di dalamnya adalah praktek sosial, seperti
tindakan manusia dalam merubah atau mempertahankan hubungan sosial yang ada:
perjuangan klas, tindakan revolusioner massa rakyat, gerakan pembebasan
nasional, transformasi sosialis masyarakat, dan pembangunan komunisme,
perjuangan untuk perdamaian, serta koeksistensi damai dengan negara-negara yang
sistem sosialnya berbeda. Lepas dari bentuk dasar praktek ini, tindakan praktis
manusia diungkapkan dalam bentuk-bentuk yang spesifik, dalam berbagai lingkup
aktivitas. Dalam ilmu pengetahuan, misalnya, sebagai lawan dari pengetahuan
teoritis, tindakan praktis meliputi eksperimen, observasi astronomis atau
observasi lainnya, penyelidikan geografis dan geologis. Aktivitas praktis juga
merupakan karakteristik dari obat-obatan, karya artistik dan kehidupan
sehari-hari.
Hasil
dari seluruh tindakan ini, pada basis mana merupakan aktivitas manusia dalam
produksi material, dan yang membuat perubahan dalam bidang sejarah, disebut
sebagai praktek sosio-historis. Sementara mengadopsi pijakan kehidupan, yaitu
praktek, dialektika materialisme menawarkan satu pemahaman baru yang
fundamental mengenai esensi dari proses kognitif.
3.
Esensi Epistemologi Marxis
Materialisme pra-Marxian, seperti yang sudah
dikemukakan, bersifat kontekmplatif. Pemikiran tersebut melihat pengetahuan
manusia sebagai refleksi pasif dari obyek dan proses-proses yang muncul di
seputar dunia. Materialisme dialektika, di lain pihak memperlakukan pengetahuan
sebagai satu komponen yang diperlukan dalam proses sosio-historis untuk
menaklukkan alam dan meningkatkan hubungan diantara manusia. Subyek dari
pengetahuan kita bukanlah alam dalam arti yang sepenuhnya, atau dalam artian
"bahan mentah", melainkan seperti alam yang ditransformasi melalui
praktek, manusia mampu mengetahui fenomena yang berada di laur aktivitas
langsungnya. Kognisi di sini harus dipahami sebagai sesuatu yang aktif secara
dominan, proses dinamis. Kognisi bukanlah sekedar persoalan alam yang
mempengaruhi manusia, yang mengkontemplasi secara pasif, namun dari satu subyek
yang bertindak praktis, dan menggunakan kekuatan-kekuatan elemen alam secara
sadar dan bertujuan, dan dalam orientasi obyeknya, proses material,
memperkenalkan struktur dan hukum alam. Lebih jauh lagi, adalah esensial untuk
mencatat bahwa kognisi tidak membatasi diri pada aktivitas koginitif individu,
namun merupakan hasil dari kombinasi berbagai usaha dari seluruh umat manusia.
Praktek historis, secara konstan diperkaya, sebagai basis untuk pertumbuhan dan
perluasan pengetahuan kita mengenai dunia obyektif dari alam dan manusia, dan
tingkat di mana pengetahuan kita berkaitan dengan esensi aktual dunia.
Sejarah
ilmu pengetahuan dan keseluruhan pengalaman sejarah manusia secara tidak
terbantahkan telah membuktikan bahwa terdapat begitu banyak hal yang tidak
diketahui, namun tidak ada satu pun yang tidak bisa dipahami dalam dunia.
Fisika modern terus menghasilkan struktur materi yang amat halus untuk
penerangan, dan kekuatan atom yang dilepaskan melalui kerja ini ditujukan untuk
melayani manusia. Pengetahuan kita tentang alam semesta telah diperluas melalui
pengembangan radioastronomi dan penelitian ruang angkasa. Biologi telah
diselidiki begitu dalam hingga ke mekanisme keturunan dan pengetahuan tentang
proses genetis, yang memiliki efek praktis dalam penemuan bibit-bibit unggul,
beberapa terobosan dalam memerangi penyakit, dll. Hukum umum di jaman modern, tentang
proses revolusioner dunia yang ditemukan oleh teori Marxist-Leninis, membantu
mempercepat perubahan progresif dalam dunia.
Dengan
demikian, dialektika materialisme, yang berdasar atas pengalaman praktis dari
aktivitas kognitif manusia, memberikan satu jawaban afirmatif terhadap aspek
kedua dari persoalan fundamental filsafat.lenin mengungkapkan esensi dari
epistemologi dialektika materialisme sbb: "1) Sesuatu itu ada lepas dari
kesadaran kita, lepas dari sensasi kita, di luar kita... 2) Secara tegas tidak
ada perbedaan yang prinsip diantara fenomena dankenyataan itu sendiri, dan
tidak akan terjadi perbedaan apapun. Satu-satunya perbedaan adalah antara apa
yang diketahui dan belum diketahui... 3) Dalam teori pengetahuan, sebagaimana
dalam ilmu pengetahuan lainnya, kita harus berpikir secara dialektis, yaitu
bahwa kita tidak harus memperhatikan pengetahuan kita sebagai yang terbaik dan
baku, namun harus menentukan bagaimana pengetahuan muncul dari kegelapan,
bagaimana kekurangannya, dan ketidak pastian pengetahuan menjadi lebih lengkap
dan lebih pasti.
Pengetahuan
manusia diperluas dan diperdalam sepanjang waktu dalam proses kognisi.
Pengetahuan merupakan komponen terpenting dari kesadaran yang berada bersama
emosi manusia dan sikap-sikapnya terhadap realitas. Hal ini jelas diperlukan
dan tidak dapat dihindarkan lagi berkaitan dengan bahasa sebagaiinstrumen
hubungan antar manusia. Pengetahuan adalah sebuah refleksi dari kepemilikan
esensial dari, dan keterkaitan diantara obyek dan hukum alamnya. Pengetahuan
dapat berbeda dalam isinya, pengetahuan dapat menyimpang (khayalan, kesalahan,
falsifikasi), ketidak absahan (dugaan, hipotesa), atau kebenaran. Manusia
selalu berusaha menghadirkan pengetahuan yang benar. Sebagaimana pepatah lama
berkata, 'Pengetahuan adalah harta yang terbesar, yang tidak dapat diambil
begitu saja, yang tiada habisnya dan nilai di luarnya" adalah benar pada
saat ini.
4.
Apakah Kebenaran Itu?
Manusia
telah lama sekali memikirkan persoalan ini. Apalagi persoalan ini selalu
menjadi pusat perdebatan filosofis. Satu pemahaman tentang apakah kebenaran,
tidak dapat dipisahkan dari solusi untuk persoalan mendasar dari filsafat.
Solusi dialektika materialisme terhadap problem kebenaran berdasar atas teori
refleksi dan berbeda dari berbagai konsepsi idealis. Solusi ini berbeda juga
dari interpretasi kebenaran yang diberikan oleh metafisika, materialisme
kontemplatif.
Para
pendukung idealisme obyektif menginterpretasi kebenaran sebagai sebuah atribut
dari kenyataan ideal --semangat, ide atau Tuhan. Misalnya, menurut teori
pengetahuannya Plato, sebagai rekoleksi jiwa dari sebuah dunia ide, maka
kebenaran adalah sesuatu yang supernatural, lepas dari esensi ideal yang ada;
"kebenaran itu sendiri" adalah sebuah dunia ide, dan pengetahuan manusia
hanya benar sesuai dengan jiwa yang berada bersama dengan dunia ide
"lainnya". Menurut filsafat Vedanta, relaitas yang sesungguhnya benar
adalah semangat absolut, Jiwa Tertinggi (Brahman). Pengetahuan tentang dunia
fenomena sesaat (Maya) oleh karenanya tidak dapat menjadi benar. Hanya
kelengkapan Brahman yang merupakan pengetahuan yang benar. Untuk pemikiran
idealis obyektif Hegel, kebenaran adalah 'ide' dalam segala keutuhan definisi
dan konkretisitasnya; pemikiran itu menjadi pengetahuan dalam lingkup pikiran yang
murni (reine Denken)
Dengan
demikian idealisme obyektif mempertimbangkan kebenaran tanpa memperhatikan
refleksi dari dunia yang mengambil bagian dalam kesadaran manusia. Pemikiran
ini melihat kebenaran tidak sebagai sebuah bagian dari pengetahuan manusia
dalam hubungannya dengan sebuah obyek, namun sebagai sebuah kualitas inheren
dari ide yang abadi, menembus batas waktu. Sebagai lawan dari pandangan yang
idealistik ini, dialektika materialisme mengasumsikan bahwa dunia dan alam itu
sendiri, bisa benar maupun salah. Karakteristik dari kebenaran itu hanya
merujuk pada pengetahuan kita mengenai sesuatu yang lebih dari pada sesuatu itu
sendiri.
Kaum
idealis subyektif juga tidak tepat menginterpretasi problem kebenaran. Dalam
menolak bahwa dunia luar itu eksis lepas dari manusia, mereka mengabaikan
setiap isi obyektif dalam pengetahuan kita dan kebenaran yang berkait secara
eksklusif dengan keberadaan dari kesadaran tanpa memperhatikan dari mana
realitas direfleksikan. ada beragam konsep subyektivis tentang kebenaran.
Diantaranya melihat kebenaran sebenar seperti apa yang bermakna secara umum,
misalnya, yaitu yang sesuai dengan opini mayoritas. Yang lainnya melihat
kebenaran dengan apa yang dipikirkan dalam gaya yang sederhana atau dalam gaya
ekonomis. Sementara lainnya tetap mempertimbangkan sebagaimana juga kesepakatan
dengan penilaian lain dalam satu sistem pernyataan yang ada. Dan terdapat satu
interpretasi tentang kebenaran sebagaimana yang berguna. Kesemua interpretasi
ini secara karakteristik menolak eksistensi dari kebenaran obyektif.
Di sini kebenaran dari penilaian secara
menyeluruh ditentukan oleh subyek dan bergantung padanya. Misalnya, mayoritas
orang-orang bisa menganut kepercayaan yang sama, namun kemudian tidak menjadi
benar oleh karena mayoritas itu. Dengan kata lain, penyederhanaan tidak dapat
diangkat pada satu kriteria kebenaran. Lebih mudah untuk meyakini tentang
sebuah atom yang tidak terbagi daripada mampu terbagi dan memiliki satu
struktur yang kompleks, namun pandangan yang pertama dalam penjelasan ilmu
pengetahuan modern. Lebih jauh lagi, seseorang dapat mengimajinasikan dengan
baik sebuah sistem proposisi, di mana setiap proposisi akan bersesuaian satu
dengan yang lain dan tidak akan bertentangan, namun tidak menampung satu
kebenaran pun ddan adalah sebuah konstruksi logis yang arbitrer. Sebagaimana
tesis yang menyatakan bahwa apa yang berguna adalah yang benar (sebuah konsepsi
yang didukung oleh filsafat pragmatisme borjuis), maka subyektivisme itu
sendiri ada, karena secara langsung pertanyaan siapa yang mengambil untung dan
siapa yang diuntungkan dari satu penilaian yang khusus. Adalah mudah untuk
membuktikan pijakan pragmatisme, misalnya, 'kebenaran' dari setiap takhayul
atau mistisisme, adalah sejauh mana digunakan bagi klas-klas yang reaksioner.
5.
Kebenaran Obyektif
Pemikiran
idealis subyektif dan obyektif keduanya melihat kebenaran sebagai sebuah bagian
internal dari kesadaran. Namun menurut dialektika materialisme, pengetahuan
adalah refleksi dari realitas dalam proses transformasi praktisnya oleh
manusia. Pengetahuan yang merefleksikan dengan benar oleh karenaya menjadi
benar. Refleksi terhadap realitas yang didistorsi, di lain pihak memunculkan
kesalahan-kesalahan, misalnya, menjadi pengetahuan yang tidak benar. Kebenaran
adalah pikiran yang berkaitan dengan realitas. Ini artinya bahwa pengetahuan
kita mengandung satu isi yang tidak bergantung pada subyek, tidak juga individu
maupun manusia. Dengan demikian kebenaran selalu obyektif.
Pengenalan
terhadap kualitas obyektif dari kebenaran mengungkapkan solusi materialis untuk
aspek kedua dari persoalan fundamental filsafat: gagasan konsep dan teori kita
hanya benar sejauh kesemuanya itu memiliki satu kandunganyang tidak bergantung
atas kesadaran. Kebenaran dari pandangan partikular ditentukan oleh keberadaan
hukum-hukum alama dari realitas obyektif yang direfleksikan, yang lebih
daripada harapan atau opini subyektif manusia. Misalnya sudah berapa kali pula
para ideolog borjuis menyatakan bahwa ajaran Marxis tentang perjuangan klas
tidak berlaku, meskipun demikian tidak menghalanginya untuk menjadi satu
kebenaran obyektif. Sementara masyarakat kapitalis modern ditandai juga oleh
sebuah antagonisme kepentingan klas yang ditentukan oleh dominasi atas
kepemilikan pribadi dan eksploitas manusia.
Pemikiran
materialis pra-Marxian juga mengenal obyektivitas kebenaran. Pada saat yang
sama, mereka melihat kebenaran secara metafisis dalam berargumen bahwa
kandungannya menutupi secara sempurna realitas yang direfleksikan. Tidak
seperti materialisme yang usang, filsafat Marxis-Leninis memperhatingan
kebenaran sebagai satu proses yang memperdalam refleksi, yang dimediasi oleh
praktek sosio historis, yang lebih dari seperti satu kali tindakan yang sarat
dengan keterkaitan antara pikiran dan realitas obyektif. Artinya, pertama,
bahwa obyek pengetahuan yang sesungguhnya bukanlah dunia obyektif itu sendiri,
namun realitas yang dimediasikan oleh praktek, melalui aktivitas material
manusia. Kedua, sejauh mana praktek manusia itu sendiri merubah dan potensialitas
kognitif subyek meningkat, kebenaran obyektif tidak muncul sebagai yang utuh,
ide yang lengkap (pernyataan, teori, dll), namun sebagai sebuah proses
dialektis perubahan dan perkembangan pengetahuan, yang merefleksikan dunia
obyektif.
6.
Kebenaran Relatif dan Kebenaran Absolut
Diskusi
yang sedang berjalan ini mendorong kita untuk mengangkat problem mengenai
hubungan diantara kebenaran relatif dan absolut. Apabila kebenaran obyektif itu
eksis, lalu bagaimana hal itu bisa diketahui? Dapatkah gagasan manusia mengungkapkan
kebenaran obyektif secara langsung, menyeluruh, bebas dan mutlak, atau hanya
kira-kira dan relatif? Satu hal yang harus dipahami adalah bahwa dalam
epistemologi ilmiah, persoalan yang diangkat bukanlah pada eksistensi dari tiga
bentuk kebenaran (obyektif, relatif dan absolut), namun lebih pada hubungan
diantara yang absolut dan yang relatif dalam salah satu atau beberapa kebenaran
obyektif yang sama. Doktrin dialektika materialis tentang hubungan diantara
kebenaran absolut dan relatif, mempertautkan beberapa aspek pengetahuan
sebagaimana kebenarannya dan kemampuan diubahnya. Bagi pemikiran metafisis
kualitas yang demikian ini tidak sesuai.
Filsafat
pra Marxian menempatkan kebenaran dari satu pijakan yang begitu dogmatis.
Dogmatisme filosofis adalah sebuah penolakan terhadap segala elemen relativitas
dalam kebenaran. Bagi pemikiran dogmatis, kebenaran yang sesungguhnya adalah
yang absolut, kokoh, lengkap, dan baku. Sekali ditetapkan, kebenaran
selanjutnya tak bisa diubah. Kebenaran dan kesalahan ditempatkan sebagaiyang
bertentangan secara diametris, secara lengkap dipisahkan satu dengan yang
lainnya. apabila dalam perkembangannya ketidaktepatan atau bahkan kesalahan
ditemukan dalam pengetahuan, maka ahli metafisis menyatakan bahwa pengetahuan
tersebut sesat dan tidak benar. Dogmatisme menghukum ilmu pengetahuan pada
stagnasi dan biasanya membawa pada satu penolakan terhadap pengetahuan yang
lebih jauh tentang dunia obyektif. Pada saat ini, perlakuan dogmatis terhadap
kebenaran lebih bersifat khusus, misalnya pada berbagai doktrin idalis religius
yang mengangkat pernyataan-pernyataan teologis ke dalam pengetahuan yang tak
terbantahkan pada satu tatanan yang lebih tinggi daripada pengetahuan ilmiah.
Relativisme
epistemolgis adalah pandangan sepihak yang metafisis. pemikiran relativis,
mengabaikan momen stabilitas dalam pergerakan. Dalam teoripengetahuan, hal ini
berarti bahwa mereka menolak setiap elemen absolut dalam kebenaran dan hanya
mengenal kualitas relatifnya. Lebih jauh lagi mereka menginterpretasi karakter
relatif dan fleksibel dari pengetahuan sebagai subyektivitasnya, yang mana
berarti bahwa mereka menolak baik itu kebenaran obyektif maupun kebenaran
absolut. Hal inilangsung membawanya pada agnostisisme. Suatu pendekatan
relativis mendasari pandangan mengenai problem kebenaran yang diangkat oleh
kaum positivis modern dan khususnya oleh kaum konvensionalis. Pemikiran
konvensionalis ini memperhatikan setiap proposisi ilmiah dari hukum sebagai
produk dari satu kesepakatan arbitrer diantara para ilmuwan, sehingga mencabut
signifikansi ilmu pengetahuan obeyktif dan menunjukkan ketidakbenaran dari
prinsip-prinsipnya.
Para
pendukung dari pluralisme tersebut di muka, juga mengadopsi pijakan relativisme
filosofis. Pluralisme dalam epistemologi mencakup ajaran subyektivis tentang
multiplisitas kebenaran. Kaum pluralis menyatakan bahwa materialisme dan
idealisme, ilmu pengetahuan dan agama, gagasan sosialis dan borjuis dsb, itu
semua sama benarnya. Namun sesungguhnya ilmu pengetahuan tidak memberikan jawaban
yang berbeda secara fundamental pada salah satu maupun problem yang sama yang
sudah dipecahkan. Hanya terdapat satu kebenaran ilmiah. Di saat yang sama,
pandangan yang sesat dan salah dari satu problem partikular, bisa bervariasi
secara meluas.
Berlawanan
dengan dogmatisme dan relativisme, dialektika materialisme mengenal satu
kesatuan dan pertentangan dari elemen-elemen relatif dan absolut dalam
pengetahuan yang sesungguhnya. Lalu apa yang dimaksud dengan kebenaran relatif?
Itu adalah pengetahuan yang secara tidak utuh dan hampir merefleksikan dunia
obyektif. Pada setiap tahap praktek sosio-historis, pengetahuan manusia adalah
relatif dengan segala keterbatasan dan kekurangannya. Namun relativitas
kebenaran tidak hanya diterapkan pada pengetahuan manusia yang dikombinasikan
dengan satu tahap khusus dalam perkembangan masyarakat, tapi juga sebuah
kualitas dari setiap kebenaran obyektif yang dipertimbangkan secara terpisah
--teori ilmiah, proposisi baku dsb. Dalam hal ini apa yang termasuk dalam
relativitas kebenaran menjadi tidak akurat, dalam keterbatasan historis akan
pengetahuan kita tentang fenomena spesifik, kenyataan, keterkaitan diantara
fenomena dan kenyataan, dsb. Setiap kebenaran (mis., teori ilmiah partikular)
adalah relatif dalam kerangka bahwa itu, pertama, tidak memberikan pengetahuan
yang lengkap dan utuh pada area yang dipelajari oleh teori tsb. Yang kedua,
kebenaran (dalam contoh kita, teori ilmiah) menggabungkan beberapa elemen
pengetahuan (mis., konsep, proposisi dan hipotesa) yang akan diubah, diperkaya
dan digantikan oleh sesuatu yang baru. Pada saat yang sama, kebenaran relatif,
bukan kesalahan, memiliki kandungan obyektif pada satu perluasan tertentu
menandakan satu keterkaitan diantara pikiran dan realitas. Oleh karenanya,
kebenaran relatif juga memiliki sesuatu yang absolut.
Apakah
yang dipahami oleh dialektika materialisme mengenai kebenaran absolut?
Kadang-kadang terjadi bahwa kebenaran absolut ditempatkan sebagai pengetahuan
yang lengkap, utuh secara menyeluruh ditempatkan bersama dengan obyek yang
diperhatikan. Namun karena ruang dan waktunya tidak berbatas, dan secara
konstan berkembang dan berubah, pengetahuan tentangnya tidak pernah lengkap.
Sebuah konsepsi serupa mengenai alam absolut dari pengetahuan manusia oleh
karenanya harus disingkirkan, dan kemudian bahwa kebenaran absolut harus
didiskusikan dalam kerangka yang berbeda, seperti koinsidensi maksimal dari
pengetahuan dengan obyek dalam beberapa bagian yang terbatas, seperti sebuah
pengetahuan yang lengkap dari aspek dan keberadaan yang terpisah. Kemutlakkan
dalam kebenaran adalah yang mana lahir dari praktik dan tidak dapat begitu saja
dirubah di masa yang akan datang. Pengetahuan yang lama tidak seluruhnya
disingkirkan dalam proses kognitif sepanjang perkembangannya, namun tercakup
dalam beberapa bentuk atau lainnya berada dalam sistem pengetahuan yang baru.
Inilah akumulasi yang berkelanjutan dari pengetahuan obyektif yang dihasilkan
oleh konsep kebenaran absolut. Setiap kebenaran relatif mengandung satu elemen
"bibit" dari kebenaran absolut. Pergerakan menuju kebenaran absolut
diungkapkan dalam pertumbuhan pengetahuan. Menurut Lenin, "Pemikiran
manusia.. secara alamiah mampu menghasilkan, dan membuat hasil, kebenaran
absolut, yang mana keseluruhan kebenaran relatif terkandung di dalamnya. Setiap
tahap dalam perkembangan ilmu pengetahuan menambahkan bibit-bibit baru pada
keseluruhan kebenaran absolut, namun batas-batas kebenaran dari setiap
proposisi ilmiah adalah relatif, yang meluas, menciut seiring dengan
pertumbuhan pengetahuan V.I. Lenin, "Materialisme dan
Kritisisme-Empiris", Kumpulan Tulisan, Vol. 14, p.135.
Sebagai
contohnya, adalah bagaimana pengetahuan kita tentang elemen-elemen kimia dan
keberadaannya disempurnakan. Konsepsi mengenai atom dan molekul ditetapkan
dalam kimia pada pertengahan kedua abad ke 19. Konsepsi tentang atom mendasari
penemuan hukum-hukum fundamental yang memperhatikan formasi substansi kompleks
kimiawi dari berbagai elemen. Lebih dari 60 elemen kimiawi telah dipelajari,
keberadaannya digambarkan, dan bobot atomisnya sedikit banyak secara tepat
diukur. Pelopor dari pengetahuan kita tentang elemen-elemen kimiawi, secara
luar biasa dikembangkan ketika seorang ilmuwan Rusia Dmitri Mendeleyev
menemukan hukum periodik elemen-nya. Penemuan obyektifnya, kaitan yang teratur
diantara elemen-elemen kimiawi memungkinkannya untuk memprediksi keberadaan
dari beberapa elemen yang belum diketahui dan menggambarkan sifat-sifatnya
dengan ketepatan yang luar biasa. Untuk menandakan elemen-elemen yang telah
diprediksikannya, Mendeleyev menggunakan bahasa Sanskrit. Dia menggunakan
awalan equa (satu) dan dvi (dua) untuk menamakan sebuah elemen yang belum
diketahui dalam sistemnya, yang berada satu atau dua baris di bawah elemen yang
diketahui dan harus dimiripkan. Dalam bukunya yang berjudul Natural System of
Elements (1870) dia menandakan elemen-elemen yang diprediksikan dengan
menggunakan garis bawah tebal. Equaboron menyerupai boron, equaaluminium
menyerupai aluminium, equasilikon menyerupai silikon, dan dvimangaan menyerupai
mangaan. Istilah modern untuk elemen-elemen tsb adalah scandium, gallium,
germanium dan rhenium.
Penemuan
Mendeleyev, seperti setiap kebenaran ilmiah, merupakan satu kesatuan dari yang
relatif dan absolut dalam pengetahuan. "Bibit" dari kebenaran absolut
adalah indikasinya tentang keterkaitan diantara sifat-sifat elemen dan bobot
atomisnya, periodisitas dari sifat-sifatnya, eksistensi dari elemen-elemen yang
belum diketahui,dsb. Pada saat yang sama, terdapat juga kebenaran relatifnya.
Karena ada pengetahuan yang tidak memadai mengenai alasan-alasan untuk
ketergantungan dari sifat-sifat elemen pada bobot atomisnya dan untuk
periodisitas dari sifat-sifat elemen, sementara beberapa elemen kimiawi beserta
isotop-isotopnya belumlah dipelajari.
Ilmu
fisika dan kimia modern pada saat ini secara esensial telah memperdalam
pengetahuan kita mengenai elemen-elemen kimiawi. Pemikiran untuk periodisitas
elemen telah ditemukan. Tenaga nuklir yang lebih daripada bobot atomis
merupakan parameter dasar dari sebuah atom. perputaran periodek untuk gambaran
yang sama dalam sifat-sifat elemen berasal dari periodisitas dalam struktur
kutub-kutub elektronik. Elemen-elemen Transuranik yang tidak ada dalam tabel
Mendeleyev dan tidak ada secara alamiah di bumi, dihasilkan dalam kondisi
laboratorium. Pada saat ini sudah diketahui 105 elemen. Pengetahuan kita
mengenai dunai atomis terus berlanjut, sebagaimana seluruh bibit dari kebenaran
absolut. Dan pergerakan menuju pengetahuan absolut ini adalah tanpa akhir,
karena materi tidak terbatas, dan setiap tahap dari praktek sosio-historis
terbatas.
7.
Tidak Ada Kebenaran Abstrak, Kebenaran selalu Konkret
Walaupun
kebenaran obyektif, dengan kesatuannya yang terdiri dari aspek relatif dan
absolut, adalah sebuah proses, hal itu juga sebuah hasil pemikiran yang konkret
historis. Tidak ada kebenaran abstrak, kebenaran selalu konkret. Inilah tesis
yang paling penting dari Marxisme-Leninisme. Apakah artinya?
Ini
berarti bahwa di atas segalanya bahwa setiap pernyataan yang benar secara
historis ditentukan. Pernyataan itu memiliki isis yang inheren, nyata dan
konkret. Kebenaran hanya mempertahankan kualitasnya dalam kondisi yang
ditetapkan di mana terdapat satu keterkaitan diantara pikiran dan realitas.
Setiap kebenaran harus diperhatikan sebagai yang relatif pada kondisi yang
spesifik. Dalam kondisi yang lain kebenaran bisa menajdi sebuah kesalahan.
Kenyataan
konkret dari kebenaran berarti bahwa pengetahuan kita tentang obyek dan
fenomena di luar dunia haruslah sebuah kesatuan dari multiformitas, lebih dari
sebuah refleksi dari satu aspek darinya. Setiapobeyk dari realitas material
memiliki seperangkat sifat-sifat dan keterkaitan obyek yang lain; lebih jauh
lagi, hal tidak hanya memiliki kualitas umum namun juga memiliki kualitas
uniknya.
Kualitas
konkret dari kebenaran adalah kepentingan yang luar biasa dalam praktek
perjuangan revolusioner. Sebagaimana yang diterapkan pada pemahaman tentang
hukum-hukum yang mengatur transisi menuju sosialisme, kualitas konkret di sini
merupakan pengetahuan tentang bagaiman yang umum diungkapkan dalam kekhususan
dan bagaimana yang khusus itu sendiri memperdalam dan memperkaya dialektika
kehidupan yang nyata. Konkretisitas kebenaran adalah sebuah kondisi yang
teramat penting dalam pendekatan kreatif pada tindakan revolusioner. Hal ini
ditekankan lagi dalam Dokumen Utama Pertemuan Internasional Partai Buruh dan
Partai Komunis: "Setiap Partai, dibimbing oleh prinsip-prinsip Marxisme
Leninisme dan disesuaikan dengan kondisi konkret nasional, yang sepenuh bebas
mengelaborasi kebjakannya sendiri, menentukan arah, bentuk dan metode
perjuangan, dan dengan bergantung atas situasi tersebut, memilih jalan damai
atau kekerasan dalam transisi menuju sosialisme, dan juga bentuk-bentuk dan
metode pembangunan sosialisme di negara masing-masing".
8.
Praktek adalah Kriteria Kebenaran
Alam
konkret dari kebenaran memberikan lebih banyak kenyataan dari perang yang
menentukan dalam praktek sosio-historis. Praktek bukan hanya merupakan basis
dari proses kognitif, namun juga kriteria yang menentukan dari pengetahuan yang
sesungguhnya. Bagaimana kita memisahkan kebenaran dari kesalahan dalam
pengetahuan kita? Sesungguhnya, "arus kebenaran bergerak melalui
saluran-saluran kesalahannya". Para filsuf idealis mencari kriteria kebenaran
hanya dalam lingkup ideal, di dalam kesadaran kita: di dalam kejernihan
intuitif dari pikiran, dalam ketidak-kontradiktifannya, di dalam koordinasi dan
makna umum dari proposisi dll. Namun tidak mungkin untuk menemukan kriteria
(ukuran) kebenaran yang tepat di dalam pikiran atau perasaan itu sendiri.
"secara intuitif jelas" dan terjadi, misalnya, bahwa matahari
bergerak mengelilingi bumi. Namun menurut doktrin Kopernikan, kebenaran ilmiah
adalah berbeda, misalnya, bumi beserta planet lainnya berputar mengelilingi
matahari. Hal ini telah dibuktikan melalui observasi astronomis dan
eksperimen-eksperimen dalam fisika.
Tidak
seperti idealisme, dialektika materialisme mengasumsikan bahwa persepsi, ide,
pandangan, teori kita merupakan refleksi, bayangan dari yang menyimpang melalui
praktek. "Manusia harus membuktikan kebenaran, misalnya realitas dan
kekuasaan, keduniawian dari pemikirannya dalam praktek", demikian menurut
Marx. "Perdebatan mengenai realitas dan non realitas dari pemikiran yang
dipisahkan dari praktek adalah sebuah persoalan yang benar-benar
skolastis!". Praktek adalah kriteria kebenaran karena hal itu yang
mendasari pengetahuan tentang realitas dan karena hasil dari proses kognitif
direalisasikan dalam aktivitas material, obyektif manusia. Praktek adalah
satu-satunya kriteria obyektif dari kebenaran sejauh hal itu merepresentasikan
bukan hanya mental manusia, namun juga keterkaitan manusia yang ada secara
obyektif dengandunia alam dan sosial yang melingkupi diri manusia.
Dalam
tindakanpraktisnya, manusia mempersiapkan tujuan-tujuan tertentu bagi dirinya
sendiri yang mengungkapkan konsepsinya tentang realitas dan pengetahuannya.
Keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah dipersiapkannya, membuktikan
kebenaran dari pengetahuan ini. Sebagai contohnya, penemuan dan penggunaan
mesin uap dalam industri merupakan bukti praktis dari kebenaranobyektif dalam
pengetahuan ilmiah sehubungan dengan hukum-hukum yang mengatur konversi panas
menjadi gerakan mekanis. Bibit unggul dan varitas gandum yang baru, keberhasilan
dalam rekayasa genetika dan prestasi medis dalam menangani penyakit keturunan
--kesemuanya menegaskan validitas dari pengetahuan biologi modern mengenai
hukum keturunan. Kemenangan sosialisme di Rusia, dalam praktek menegaskan bahwa
Lenin benar adanya dalam menyimpulkan bahwa memungkinkan untuk mempengaruhi
transisi menuju sosialisme di satu negara di bawah kondisi meningkatnya
kesenjangan ekonomi dan perkembangan politik kapitalisme pada tahap monopoli.
Sementara
kita memahami arti penting dari praktek sebagai kriteria kebenaran, kita pun
harus memahami kekontradiktifannya; kriteria ini absolut dan relatif. Kriteria
ini absolut sejauh tidak terdapat kriteria lain yang mana dapat menetapkan
kebenaran ataupun kesalahan dari hasil-hasil pemikiran manusia. Kriteria ini
juga absolut karena praktek dapat membuktikan kebenaran absolut. Ketika
pengetahuan dilahirkan melalui praktek adalah benar bukan hanya secara
obyektif, namun dalam batas-batas tertentu juga secara absolut, dan tidak
mengikuti perubahan yang ada dalam batas-batas ini. Pada saat yang bersamaan,
kriteria ini juga relatif. Hal ini diungkapkan, pertama-tama, yaitu dalam satu
tindakan praktek yang partikular, terisolasi, jelas tidak memadai untuk
membuktikan secara tepat kebenaran maupun ketidak benaran dari sebagain
pengetahuan yang partikular. Yang kedua, praktek dibatasi oleh tahap
perkembangan historisadikdahlan.blogspot.coms yang spesifik dari sarana-sarana industrial, teknis dan
eksperimental untuk mempengaruhi obyek pada satu titik dalam waktu. Aktivitas manusia
secara berkelanjutan berkembang dalam segala bentuknya. Oleh karenanya praktek,
sebagai kriteria kebenaran, harus dipertimbangkan, sebagaimana proses kognisi
sebagai satu keseluruhan, dalam satu latar sejarah --sehubungan dengan tingkat
produksi tertentu, eksperimentasi ilmu pengetahuan dan teknologi dan sehubungan
dengan hubungan sosial dan tindakan sosial manusia yang relevan.
Keberlanjutan
perkembangan praktek mencegah pengetahuan kita berubah menjadi dogma yang baku
dan kaku. Pada saat yang sama, kenyataan absolut dari praktek sebagai kriteria
kebenaran memungkinkannya untuk membedakan pengetahuan yang benar secara
obyektif, dari penyimpangan, kesalahan dan fantasi tanpa dasar.
Selanjutnya,
kita dapat mulai mempelajari dialektika proses kognisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar