Sabtu, 13 Februari 2016

RESOLUSI KONFLIK



1
pendahuluan:
pengantar ke arah teori dan resolusi konflik 

KONFLIK akan selalu menjadi bagian penting dalam sejarah manusia sehingga dengan sendirinya konflik pun tetap menyita perhatian pemikiran ummat manusia. Karena itulah, menjadi dapat dimengerti mengapa secara umum konflik dilihat dalam wajah ganda: konflik sebagai sebuah perspektif dan sebagai pertikaian terbuka. Yang pertama ia membangun asumsi dasar bahwa akan selalu terdapat konflik dalam interaksi manusia dan struktur sosial; yang kedua, wujud realnya mengambil bentuk dalam perang, revolusi, pemogokan, dan gerakan-gerakan perlawanan lainnya.[1]

: konflik sebagai perspektif
Sebagai perspektif, konflik adalah hasil konstruksi teoritik pemikiran manusia –entah apakah ia merupakan hasil perenungan abstrak filosofis ataukah sebagai hasil interpretasi atas realitas empirik yang menggemuka secara menyejarah.[2] Tulisan-tulisan para pemikir besar seperti Thucydides, Machiavelli, Hobbes, Marx dan Angels; atau Gomplowitz, Ratzenhover, Novicaw; demikian juga Simmel adalah akar-akar teoritik konflik sebagai sebuah perspektif. Ini artinya, teori konflik dapat dilacak hingga pada pemikiran-pemikiran paling kuno tentang bagaimana para penguasa mempertahankan kekuasaan mereka.
Hanya saja, pada perkembangannya yang paling dini, teori struktural-fungsional yang mengedepankan konsensus dan kesepakatan nyatanya lebih mendominasi dunia pemikiran ilmu-ilmu sosial. Pemikiran-pemikiran yang mengedepankan titik perhatiannya pada teori konflik baru mengedepan pada dasawarsa 1960-an –ini terutama terjadi di negara-negara berbahasa Inggris – seiring dengan situasi dunia politik pada tahun-tahun tersebut sarat ketegangan dan kekacauan, tidak saja pada zona domestik melainkan pula meluas secara internasional. Pada era-era ini, Marx menjadi sumber inspirasi pemikiran teori konflik mereka meskipun kesimpulan akhir mereka cukup berbeda dengan kesimpulan pemikiran Marx sendiri. Sebut saja, misalnya, Antonio Gramsci (1971),[3] Ralf Dahrendorf (1959), Randall Collins (1975) adalah tiga nama besar di antara banyak pemikir yang memberikan perhatian kuat pada teori konflik. Para pemikir teori keterbelakangan (underdevelopment) pun menggunakan perspektif konflik dalam studi-studi pembangunan ekonomi mereka atas negara-negara dunia ketiga.[4]
Singkatnya, sebagai perspekti, teori konflik tidak saja menjelasakan bagaimana sebuah tatanan terpelihara dalam kesenjangan –hal lebih penting adalah bagaimana menjelaskan sebuah struktur sosial mengalami perubahan sebab sekalipun ia tidak mengabaikan kerja sama dan kesamaan kepentingan tetapi memang perhatian utamanya lebih diarahkan ada orientasi tentang persainagan dan ketidaksesuaian. Asumsi dasarnya menyebutkan bahwa “manusia pada dasarnya tidak ingin didominasi atau dipaksa sehingga setiap kali ada dominasi atau paksaan akan melahirkan perlawanan”. Di sini, nampak bahwa pemaksaan atau koersif adalah cara utama untuk mencapai sebuah tujuan yang diinginkan sebagi kepentingan.

: konflik sebagai pertikaian terbuka
Pada kenyataannya konflik memiliki banyak bentuk: perang, revolusi, pemogokan, kerusuhan rasial, atau pertikaian antarindividu. Kenyataannya, ini telah mendorong kalangan ilmuan tidak saja memetakan jenis-jenis konflik yang terjadi dalam hubungan-hubungan ketergantungan dan hubungan-hubungan pertukaran yang terlembagakan. Para ilmuan pun diminta untuk mampu menemukan penyebab-penyebab umum sebuah konflik, pola-pola eskalasi, cara menyelesaikan, dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh konflik yang mengemuka. Berikut ini adalah tiga jenis konflik saling terkait yang dapat dipetakan secara umum sekalipun sebenarnya ragam jenis konflik cukup tajam polarisasinya.
1.      Karakter pihak yang berkonflik
Hal ini dapat dibedakan menurut tingkat organisasi dan kekompakannya. Di satu pihak terdapat organisasi yang memiliki peraturan keanggotaan dan pedoman tindakan yang ketat seperti pemerintah, serikat buruh, dsb, di pihak lain ada kelompok-kelompok longgar yang bersifat abstrak seperti kelas sosial tertentu atau pendukung sebuah ideology tertentu yang sulit dilihat atau dibuktikan.
2.      Hakikat tujuan (terdapat pertentangan-pertentangan tujuan)
Jenis-jenis tujuan pun cukup beragam. Ambil misalnya, untuk menguasai tanah, uang atau hal-hal sederhana tetapi dianggap bernilai bagi pihak-pihak tertentu. Konflik terjadi karena perbedaan tujuan melibatkan lebih dari satu pihak. Konflik yang bertujuan untuk memperebutkan sesuatu yang bernilai materi disebut konflik konsensual, sedangkan konflik dissensual adalah konflik dengan tujuan untuk memperebutkan sesuatu yang dianggap bernilai tetapi tidak dalam pengertian material.
3.      Cara atau sarana yang digunakan
terdapat banyak cara sebagai sarana konflik: pemaksaan terang-terangan, ancaman, atau mungkin juga cara paling halus seperti bujukan. Bila konflik seperti ini terus diulang-ulang maka konflik akan terlembagakan demikian juga dengan cara pun ikut terlembagakan menjadi tradisi dalam relasi sosial mereka.

: asal-usul konflik sosial
Pada dasarnya asal-usul atau sebab-sebab sebuah konflik dipicu oleh banyak hal. Para ilmuan sosial menyebutkan bahwa sebuah konflik sosial dipicu oleh hubungan-hubungan sosial, ekonomi dan politik –mereka tidak menempatkan sidat dasar biologis sebagai akar sebuah konflik. Secara lebih spesifik lagi sebagaian teoritisi sosial menilai konflik sebagai hasil perebutkan atas sesuatu yang terbatas; sebagai yang lain menyoroti ketimpangan sebagai sebab-sebab pemicu konflik; yang lain lagi menilai karena perbedaan pada tujuan dan nilai-nilai –jenis konflik yang terakhir ini relative lebih muda untuk dicegah sejauh terdapat kemandirian dan persamaan nilai antara para pihak yang terlibat dalam konflik.
Tentu masih terdapat sebab lain sebagai pemicu konflik sosial, yakni dari sistem yang melingkupi pihak-pihak yang bertikai. Dalam konteks ini, para pemikir fungsionalisme menilai konflik terjadi karena perubahan sosial yang terjadi secara tidak merata seperti diungkapkan oleh C. Johnson, T .R. Gurr (1970) menekankan kesadaran pada pihak-pihak yang bertikai (deprivasi absolut atau relative); J. A. Goldstone (1991) menekankan pada kekuatan dan kohesi kelompok dominant; atau bagi C. Tilly (1978) akar konflik berawal dari sikap kelompok-kolompok yang menginginkan perubahan terus berusaha melakukan mobilisasi untuk menc apai tujuan agenda perubahan mereka.

: eskalasi, de-eskalasi,
  dan penyelesaian konflik
Titik perhatian para ilmuan atas konflik selama ini lebih banyak menyoriti soal perilaku koesif dan eskalasinya. Namun demikian, dewasa ini terjadi juga dikalangan ilmuan sosial terbangun kesadaran tentang pentingnya menaruh perhatian pada tema de-eskalasi dan tema penyelasaian konlik. Hanya bahwa, seperti eskalasi –de-eskalasi konplik pun dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan internal seiap kelompok yang bertikai, baik interaksi antara mereka maupun tindakan mereka yang sejak awal tidak terlibat konflik. Proses tentang itu mengambil pola pentahanan sebagai berikut:
  1. Faktor internal itu mencakup aneka ragam proses psikologi sosial dan perkembangan organisasional yang dapat mengembangkan komitemn mengakhiri konflik. Alasannya, selain terdapat kelompok yang memperoileh keuntungan dari konflik yang terjadi, terdapat juga kelompok lain yang kehilangan keuntungan (kekuasaan atau sumber daya) sehingga kelompok-kelompok seperti ini menjadi sedikit kehilangan komitmen meneruskan konflik mereka;
  2. Bila interaksi berbagai pihak yang bertikai tidak bersifat intimidatif atau profokatif maka proses de-eskalasi akan berlangsung menuju konsolidasi untuk mengakhiri konflik;
  3. Pihak-pihak yang dari awal tidak terlibat konflik jika memilih mengambil langkah-langkah bergabung dalam konflik guna untuk memperoleh keuntungan maka eskalasi konflik akan meningkat; tetapi bila sebaliknya, memilih mengambil posisi sebagai pengimbangan maka kecenderungannya lebih mengarah pada de-eskalasi guna mengakhiri konflik.
Dari gambaran itu, dapat ditegaskan bahwa bila pihak-pihak yang berkonflik memperoleh keuntungan dari proses konlik maka kemungkinannya adalah eskalasi konflik; tapi bila yang terjadi adalah ada pihak yang dirugikan dari proses konflik itu maka kemungkinan de-eskalasi menjadi lebih terbuka. Di sini nampak menjadi jelas bahwa dalam studi-studi konflik sosial, pemahaman mengenai penyebelasain konlik menjadi aspek penting dalam studi tentang konlik sosial.


2
konflik dan relasi kekuasaan

: menuju pemikiran Ralf Dahrendorf
Selain fungsionalisme dan neofungsionalisme, teori konflik pun merukapakan salah satu aliran utama salam tradisi teori sosiologi modern. Menurut Colomi (1990), berkat usaha keras dua tokoh garis depannya, Talcott Parson dan Robert Marton, posisi teori fungsionalisme sempat menjadi arus dominant dalam sosiologi sebelum akhirnya runtuh sehingga maknanya kini hanya bersifat histories.  Runtuhnya fungsionalisme telah menebangkan lahirnya teori neofungsionalisme. Namun demikian, posisi teori ini –yang lahir pada dasawarsa 1980-an –tidak dapat bertahan lama karena secara ironi ditinggalkan oleh pendirinya sendiri, Zevrey Alexander. Sang penggagas menilai neofungsionalisme “tidak lagi memuasakannya”. Ia justru menegaskan bahwa “Aku kini memisahkan diriku dari gerakan yang aku sendiri memulainya”. Krisis fungsionalisme dan neofungsionalisme inilah yang menempatkan posisi teori konflik sebagai alternatif teoritik selama beberap tahun dalam sosiologi.[5]
Berangkat dari latar historis sosiologi itulah maka para sosiolog memandang model analisis struktural memiliki dua tradisi berbeda: tradisi analisis strukturalisme-fungsional yang mengedapankan konsensus dan tradisi analisis strukturalisme-konflik yang menekankan pada wilayah pertentangan.[6] Bahkan kehadiran teori konflik oleh Ritzer dipandang sebagai bentuk penentangan secara langsung atas teori fungsional.[7] Pada buku yang ditulisnya bersama Goodman, penentangan konflik atas fungsional itu tergambar jelas pada tabel 1 di bawah ini.

tabel. 1
penentangan konflik atas fungsionalisme

aspek teoritik
asumsi strukturalisme-fungsional
Asumsi strukturalisme-konflik
basis masyarakat
berbasis norma dan nilai

Berbasis dominasi
keteraturan sosial
berdasarkan kesepakatan

berdasarkan kontrol dan manipulasi;

perubahan sosial
secara lamban dan teratur.
secara cepat dan tidak teratur saat kelompok subordinat menggulingkan kelompok dominant
diolah sendiri dari karya Ritzer dan Goodman (2003)

Meskipun demikian, menurut Thomas Bernard (1983), persamaan kedua teori strukturalisme ini jauh lebih ekspersif dibandingkan perbedaannya sebab kedua-duanya merupakan studi makro yang memberikan perhatian utama pada struktur sosial dan institusi sosial. Titik perhatian inilah yang mendorong Ritzer memandang kedua-duanya sebagai bagain dalam paradigma fakta sosial (social fact paradigm).[8] Memang bahwa terdapat pertentangan antara kedua teori ini adalah fakta yang juga diakui Bernard –yang baginya, peta pertentangan teoritik ini telah dimulai sejak pertarungan antara pemikiran Plato (mewakili teori konsensual) dengan Aristoteles (konflik) sebelum diramaikan oleh sejumlah pertentangan besar yang melibatkan para pemikir besar: Comte-Marx, Durkehim-Simmel, Parson-Dahrendorf.[9] Nama yang disebut terakhir inilah (Ralf Dahrendorf) yang belakangan disebut-sebut sebagai tokoh sentral teori konflik; sebuah teori yang mengganti posisi dominasi fungsionalisme tetapi juga menyediakan landasan pijak bagi teori neo-marxian. Sekalipun sebagai alternatif atas teori fungsionalisme, tetapi seperti telah disebutkan di depan bahwa teori konflik tetap merupakan bagian dari struktralisme (strukturalisme-konflik) maka teori ini dipandang gagal melepaskan dirinya dari pengaruh teori fungsionalisme sehingga oleh Ritzer dan Goodman memandangnnya sebagai “jenis fungsionalisme struktural yang angkuh” dan bukan sebagai sebuah pandangan kritis atas masyarakat.[10]

: pemikiran Ralf Dahrendorf
Melalui karya klasiknya, Class and Class Conflict in Industrial Sociaty (1959), Ralf Dahrendorf diakui luas sebagai tokoh terpenting dalam tradisi pemikiran teori konflik. Tidak seperti Marx yang memandang hubungan-hubungan kepemilikan sebagai akar konflik, menurut Dahrendorf, hubungan-hubungan kekuasaan-lah harus dipandang sebagai akar konflik sebenarnya. Atas dasar itulah, tesis pemikirannya menyebutkan bahwa distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata memeberikan implikasi pada konflik sosial.[11] Perhatiannya yang kuat pada teori konflik membuat posisi intelektualnya berseberangan dengan para pemikir fungsionalisme semila Parson. Karena itulah, Dahrendorf dipandang sebagai tokoh antitesis terbaik antara teori konflik dengan fungsionalisme. Peta antitesis itu sebagaimana terlihat pada table 2 berikut ini.

tabel. 2
peta antitesis versi Dahrendorf

teori fungsionalisme
keori konflik
Masyarakat berada dalam kondisi statis, berada dalam perubahan secara seimbang
Masyarakat setiap saat selalu tunduk pada proses perubahan lewat pertentngan-pertenganan antara unsur-unsur
Setiap bagian (sistem) memberikan dukungan pada stabilitas
Setiap bagian menyumbang pada konflik (disintegrasi sosial) dan perubahan
Anggota masyarakat terikat secara informal dengan norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum
Keteraturan dalam masyarakat adalah hasil pemaksaan bagian atas terhadap bagain bawah
Menekankan keteraturan
Melihat pertetnangan dan konflik
Konsel-konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan
Konsep-konsep utamanya adalah wewenang dan posisi

Melalui peta antitesis itu ia memandang teori sosiologi harus memiliki dua bagian mengikut dua wajah masyarakat, yakni konflik dan consensus. Ini membuat konflik dan consensus inhern pada masyarakat. Tegasnya, “konflik dan consensus (fungsionalisme) adalah syarat mutlak ada atau tidak adanya sebuah masyarakt” sebab konflik menguji pertentangan kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dalam tekanan, sementara koinsensus menguji dimensi nilai integrasi dalam setiap masyarakat. Namun demiukian, ia tetap menolak teori sosiologi tunggal sebagai kemungkinan dan tetap pada pendiriannya untuk mengembangkan teori konfliknya seteklah menyadari bahwa masyarakat pada prinsipnya diinterasikan oleh mekanisme “ketidakbebasan dan dipaksakan”.[12]

: otoritas (wewenang) dan posisi
Sedikit telah disinggung di depan bahwa distribusi kekuasaan dan wewenang telah menjadi pemicu utama sebuah konflik terjadi sejauh distribusi itu terjadi secara tidak merata. Mengapa?
Menurut Dahrendorf, wewenang yang berbeda adalah tanda tentang berbagai posisi yang berbeda pula dalam masyarakat. Dalam bahasa lain, struktur posisi yang berbeda menentukan otoritas dengan kualitas yang berbeda pula. Atas dasar itulah, menjadi berasalan mengapa Dahrendorf memandang perhatian bidang utama sosiologi harus mengarah pada studi tentang perbedaan posisi dan wewenang individu-individu dalam masyarakat sehingga identifikasi berbagai peranan sosial dalam masyarakat adalah tugas utama analisis konflik sebab berpotensi mendominasi dan didominasi.
Dengan penegasan seperti itu, maka menjadi jelas jika otoritas tidak melekat pada individu (orang) tetapi melekat pada posisi yang ditempati individu. Perbedaan posisi antara individu-individu inilah yang membuat berbe juga otoritas antara satu individu dengan individu lain sementara otoritas sendiri menegaskan tentang superordinasi individu yang berada pada struktur posisi atas terhadap individu yang menempati struktur posisi bawah yang tersubordinasi. Relasi atau hubungang-hubungan kekuasaan ini membuat kekuasaan dan wewenang menjadi sah karena dilegitimasi oleh perbedaan possi mereka. Artinya bahwa seseorang pada sebuah struktur posisi adalah superordinasi sekaligus subordinasi sebagaimana terlihat pada tabel 3 di bawah ini. Jenis masyarakat seperti ini disebut Dahrendorf sebagai persekutuan atau asosiasi yang dikoordinasikan secara paksa (imperatively coordinated association).

tabel. 3
otoritas dan posisi



 

















: peran laten
Kekuasaan telah menjadikan struktur sosial menjadi struktur penguasa dan yang dikuasai di mana pihak penguasa berkepentingan mempertahankan kekuasaannya sedangkan pihak yang dikuasai berkepentingan melakukan perubahan. Pertentangan ini berlangsung tanpa henti sehingga kekuasaan sah penguasa senantiasa dalam keterancaman. Akar persoalan dari situasi pertentangan ini terletak pada perbedaan kepentingan sementara perbedaan kepentingan dilahirkan oleh perbedaan posisi (posisi individu-individu sebagai penguasa dan posisi individu-individu sebagai yang dikuasai). Pada situasi inilah, maka sikap dan tindakan individu adalah cerminan nyata dari cara-cara yang diharapkan oleh kelompoknya masing-masing. Pada saat konflik terjadi, setiap individu harus dapat menyesuaikan diri dengan peran yang diharapkan oleh kelompok struktur sosialnya. Sikap penyesuaian diri yang dilakukan individu inilah disebut Dahrendorf sebagai peran laten.[13]

: konsep kepentingan
  (nyata dan tersembunyi)
Posisi dikotomis antara dua kelompok konflik di atas adalah akibat dari defenisi posisional individu-individu menurut perbedaan-perbedaan kepentingan bersama (common interest) kelompok yang satu (penguasa) atas kelompok yang lain (dikuasai). Kelompok yang pertama berkepentingan mempertahankan status quo; yang kedua menuntut perubahan sehingga dengan demikian setiap individu harus menyesuiakan diri/disesuiakan secara objektif. Di sebut objekti karena peran dan tindakan mereka dibedakan berdasarkan perbedaan posisi. Hanya saja bahwa individu-individ yang menyesuaikan atau disesuaikan perannanya menurut posisi mereka masing-masing ini tidak mesti selalu disdari. Penyesuaian peran yang tidak disadari disebut sebagai kepentingan tersembunyi sementara kepentingan nyata adalah penyesuaian peran yang telah disadari.[14]

: kelompok yang terlibat konflik
Menurut Dahrendorf, konflik sosial secara tegas memola tiga tipe kolompok utama yang terlibat, yakni:
1.      quasi group
Sejumlah atau kumpulan para pemegang kekasaan atau ororitas atau jabatan yang memiliki kepeningan yang sama. Kelompok semu ini muncul karena adanya kemunculan kelompok kepentingan.
2.      interest group
Kelompok kepentingan muncul (keanggotaannya) dari kelompok semu. Kelompok ini memiliki struktur, program, tujuan dan anggota yang luas. Kelompok ini juga adalah sumbernya dari sebuah konflik sosial dalam masyarakat.
3.      conflict group
Kelompok konflik lahir dari ragam jenis kelompok kepentingan yang ada.[15]

: konflik dan perubahan sosial
Perubahan adalah sasaran dari sebuah konflik sebab konflik memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Arah ini adalah akibat dari langkah-langkah yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang terlibat sehingga sebuah perubahan radikal akan terjadi sejauh konflik berlangsung secara hebat, dan perubahan struktur sosial itu terjadi efektif bila konflik disertai pula dengan kekerasan. Singkatnya, sosiologi harus memberikan perhatian pada hubungan antara konflik dengan perubahan dan konflik dengan status quo.[16]

: pemikiran Dahrendorf
  (beberapa komentar kritis)
Pemikiran Dahrendorf telah mendapat banyak kritikan dari banyak kalangan. Mereka adalah Hazelringg (1972), Turner (1973), dan Weingart (1969). Sementara Pierre van der Berghe (1963) dan George Ritzer dalam nada yang sama menilai teori konflik mengabaikan kenyataan-kenyataan keteraturan dan stabilitas, nilai-nilai dan norma-norma karena perhatiannya yang hanya terpaku pada pertentangan sebagaimana perhatian fungsionalisme yang hanya terpaku pada konsensus –keduanya saling mengaibakan. Sementara itu kritik tiga tokoh di depan secara umum tergambar pada tiga poin berikut: pertama, tidak mencerminkan pemikiran Marxian –sebagai sebuah interpretasi tidak lengkap teori Marxian ke dalam sosiologi; kedua, lebih dekat pada fungsionalisme sehingga menderita hal yang sama dihadapi fungsionalisme; ketiga, seperti fungsionalisme, teori konflik bersifat makroskopik sehingga sedikit sekali menyumbang pada pemahaman kita atas pemikiran dan tindakan kita.


3
konflik dan fungsi integrasi

: mengenali pemikiran Coser
Lewis Coser adalah sosiolog asal Amerika. Itulah mengapa ia mengawali kajian konfliknya dengan menyerang fungsionalisme yang pada waktu itu mendominasi peta pemikiran sosiologi di Amerika. Alasannya, fungsionalisme terlalu menekankan pada nilai dan konsensus normative, keteraturan dan keselarasan sehingga konflik dipandang sebagai mengacaukan atau disfungsional sistem. Di sinilah, ketika pada tahun 1956 ia menerbitkan karyanya, The Fungtions of Social Conflict, pemikiran konfliknya dipandang sebagai alternative atas perspekti teori konlik radikal yang hampir seluruhnya mengambil inspirasi dari pemikiran Karl Marx.
Coser memilih pemikiran Simmel sebagai landasan teoritiknya. Menurut Simmel, konflik adalah salah satu bentuk relasi sosial paling mendasar. Karena konflik adalah relasi mendasar, perhatian Coser tertuju pada konsekuensi-konsekuensi konflik atas sistem sosial di mana konflik itu terjadi dengan asumsi bahwa konflik tidak selalu disfungsional atau merusak sistem sebab ia pun memiliki konesekuensi-konsekuensi positif yang menguntungkan sistem.[17]

: konflik antarkelompok dan
  Solidaritas kelompok-dalam
Mengapa konflik dipandang memiliki nilai atau fungsi yang positif atas sistem? Menurut Coser, kita harus mencermati pada dinamika antagonisme yang melibatkan kelompok-dalam (in-group) dan kelompok-luar (out-group). Kedua kelompok ini memiliki batas yang tegas di mana pada kelompok-dalam tekannya adalah fungsionalisme sementara pada kelompok-luar berlaku persepketif teori konflik. Alasannya adalah karena ketika konflik atas kelompok-luar begitu intensi maka solidaritas dan integrasi internal kelompok-dalam menjadi ikut menguat lewat kekompakan, konformitas dan komitmen. Memang tidak selalu yang terjadi adalah demikian. Hanya saja bahwa mereka yang melakukan solidaritas dan integrias atas kelompoknya akan dianggap sebagai penyimpang dan karenanya ditempatkan dalam posisi yang diawasi –jika tidak diusir.[18] Penjelasan ini menunjukkan bahwa konflik diperlukan karena memiliki implikasi bagi kemhuatnya soludaritas dan integrasi intenal sistemik dalam kelompok-dalam. Karena itulah musuh selalu diciptakan untuk mengambil posisi sebagai pihak kelompok-luar.
Pertanyaan penting lain lagi adalah apakah ancaman kelompok-luar merangsang lahirnya sentralisasi kekuasaan dan apakah pemusatan kekuasaan itu bersifat menekan atau kejam? Menurut Coser, semua itu tergantung pada sifat ancaman dari kelompok-luar dan solidaritas struktur internal kelompok-dalam. Artinya, jika acaman dari kelompok luar memiliki intensitas yang cukup tinggi, perang, misalnya, sementara pada struktur internal kelompok-dalam terjadi pembangian kerja (divition of libour) maka sentalisasi kekuasan diperlukan untuk konolidasi struktur internalnya. Kecenderungan kekuasaan menjadi menekan pun dalam konteks ini dibenarkan karena tekan kekuasaan yang tersentralisasi itu dimengerti sebagai upaya menggalang solidaritas kelompok-dalam untuk melawan kelompok-luar.
Pernyataan terakhirnya adalah: apakah akan terjadi keruntuhan kelompok-dalam ataukah kian meningkat kontrol kekuasaan yang bersifat otoritatif jika yang terjadi adalah kecenderungan lain, yakni anggota-anggota kelompok dalam menjadi apatis dalam menghadapi kelompok luar? Lagi-lagi bagi Coser dengan tegas mengatakan bahwa itu sangat tergantung pada kemampuan penguasa dan pada pilihan tegas untuk meninggalkan kelompok menjadi mudah dilakukan; tetapi bila kasusnya adalah negara-bangsa, resikonya akan lebih sulit untuk ditinggalkan.
Tentang kontrol otoritatif, seperti sudah diperlihatkan di depan, ia cukup prospektif untuk solidaritas kelompok-dalam. Hanya saja jika terlalu keras ia berpotensi menyulut pemberontakan paca konflik eksternal dengan kelompok-luar. Hanya bahwa pemberontakan-pemberontakan seperti ini umumnya selalu gagal karena penguasa lalu begitu cepat mengendalikan sumber-sumber tempat para anggota kelompok-dalam menjadi begitu tergantung pada sumber-sumber itu.[19]

: konflik dan solidaritas
  dalam kelompok-dalam
solidaritas dalam kolompok-dalam sangat mungkin terjadi jika persaingan antara individu-individu atas hal-hal yang diangap langkah (meningkatkan kesejahteraan, kekuasan, prestise, dll) dapat ditempatkan pada kerangka konsensual untuk menghindari disintegrasi kelompok. Ini artinya, permusuhan dan pertentangan (antagonisme) dapat dirundingkan dan diterima secara terbuka maka fungsi konflik bersifat integratif.

: jenis konflik dan
  perubahan sosial
Apabila konflik dipendam, yang terjadi adalah terputusnya hubungan antara individu-individu dalam kelompok. Konflik sendiri memiliki dua jenis, yakni: konflik realistik dan konflik non-realistik. Konflik realistik adalah konflik yang ditujukan pada sebuah tujuan tertentu sebagai objek konflik sementara kedudukan konflik sendiri adalah sekedar alat untuk mencapai tujuan tersebut. Ini artinya, akar konflik bersumber pada objek konflik sehingga ketika objek itu hilang maka konflik dengan sendirinya akan ikut menghilang dari permukaan –selesai.
Tentu saja ini cukup berbeda dengan jenis konflik non-realistik. Konflik jenis ini menempatkan konflik (perasaan bermusuhan) tidak sebagai alat tetapi sebagai objek konflik itu sendiri. Karena itu, jenis konflik ini cukup sukar untuk ditangani.[20] Isu perubahan dalam konflik dalam konteks ini dengan demikian lebih segaris dengan jenis konflik realistik karena jenis ini menguntungkan sistem –perubahan menghasilkan kepekaan pada kebutuhan individu-individu anggota sistem maka komitmen mereka pada sistem pun menjadi menguat.[21]

: konflik dan stimulasi pada
  integrasi antara kelompok
Pada situasi konflik yang keras, beberapa kelompok menjadi sangat terbuka untuk membentuk koalisi sejauh yang dilawan adalah dijadikan sebagai musuh bersama (common anemy). Apakah kondisi ini bersifat permanen? Ini sangat ditentukan oleh hal-hal seperti: kesamaan budaya, jumlah kepentingan bersama, juga tingkat perlawanan yang menekankan perubahan yang dihadapi dalam kelompok lawan.[22]


4
konflik, koalisi kekuasaan, hukum besi olikarki, dan massa pasif

: sekilas tentang ide
  C. Wright Mill
Fungsionalisme hampir pasti selalu diserang oleh para teorisi konflik –dan Mills, seorang pemikir besar yang lahir dan besar di Texas, Amerika –adalah tak pelak lagi menjadi tokoh garis depan yang secara terbuka dan keras ikut mengecam.[23]
Tiga tahun sebelum menerbitkan karya monumentalnya, The Sociological Imagination (1959), pada tahun 1956 ia telah menerbitkan sebuah karya penting dengan judul The Power Elite. Melalui karya ini, Mills menghadirkan satu studi berani yang menyingkap struktur kekuasaan Amerika pada tiga titik orbit penting: institusi ekonomi, militer dan politik. Para elit di tiga institusi ini (orang kaya, panglima perang dan direktur politik) mengorganisir kekuasaan mereka secara terpadu. Kekuasaan terintegrasi ini adalah sumber-sumber keputusan penting –yang demi kepentingan para elit, model keputusan-keputusan mereka menjadi referensi yang menentukan struktur dasar dan arah masyarakat Amerika secara keseluruhan.
Melalui penegasan-penegasannya itu, Mills melontarkan tesis utamanya bahwa, “keputusan-keputusan mereka yang menduduki posisi atas dalam institusi ekonomi, militer dan politik adalah referensi pembentukan kehidupan semua orang yang kekdudukan posisional kekuasaan mereka lebih rendah.”[24] Pada situasi ini, keterlibatan public hanya berhenti pada sikap poasif menerima dominasi kekuasaan yang membangun kekuasaannya –terutama melalui pengaruh indoktrinasi media massa.[25]

: pokok gagasan
  Robert Michels
Michels memiliki pemikiran yang hampir mirip dengan Mills. Ia, melalui karyanya, Political Party (1915), melakukan analisis mendalam terhadap partai politik dan serikat buruh untuk melahirkan tesis besarnya tentang iron law of oligarchy –“hukum besi oligarki”.
Melalui hukum ini, ia menunjukkan fakta bahwa tedapat kecenderungan umum kekuasaan untuk melakukan konsentrasi pada suatu elit. Elit-elit ini hanya beusaha –melalui keputusan-keputusan dan tindakan mereka –untuk mempertahankan kekuasaan mereka dan tidak untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat jelata. Lebih jauh lagi, paradoks hukum ini memperlihatkan ironi bahwa sekalipun ideology mereka demokratis tetapi pada kenyataannya struktur demokrasi cenderung digeser menjadi oligarki. Mengapa?
Pertama, karena munculnya pimpinan yang dibayar; kedua, luasnya organisasi. Pada hal yang disebut kedua ini, terdapat jarak yang lebar anatara mereka yang berada pada posisi atas dan mereka yang menempati ruang posisional di bagian bawah sehingga pada tingkat operasional organisasi, mekanisme pengambilan keputusan, mereka yang berada pada posisi bawah memilih menarik diri dari sikap aktif-partisipatif menjadi sebatas massa pasif karena merasa suara mereka kan tetap tidak didengar oleh mereka yang berada di posisi atas.
Sikap pilihan sebagai massa pasif ini dimanfaatkan para elit untuk kian memperbesar kekuasaan mereka demi mengejar kepentingan mereka dengan tidak menghiraukan keberadaan perlawanan kaum oposan. Sejauh posisi perlawanan oposisional menjadi kuat, kontrol atas informasi diperketat dengan memanfaatkan pusat-pusat sistem komunikasi; tetapi jika posisi itu kian tangguh, maka kaum oposan akan dengan cerdik ditarik masuk dalam lingkaran para elit berkuasa. Ini artinya, para elit bertindak leluasa karena jabatan-jabatan mereka memberikan mereka legitimasi –sesuatu yang tidak dimiliki oleh kekuatan dari kelompok oposisi.[26]


5
konflik dan dinamika interaksional

: struktur sosial mikro
Seperti para pemikir terdahulu, perhatian Randall Collins dalam Conflict Sociology (1975) pun tetap melihat area struktur sosial. Hanya saja, berbeda dengan struktur sosial sebagai realitas makro (objektif) yang ditekankan para pemikir sebelumnya dan karenanya bersifat eksternal dan memaksa individu, Collins memandang struktur sosial sebagai realitas subyektif dan karenanya berada dalam pikiran individu-individu –sebagai dasar bagi pola interaksi di antara mereka. Alasannya cukup sederhana, menurut Collins, para individu-individulah sebagai aktor sejarah yang menciptakan, dan lagi menciptakan kembali organisasi-organisasi sosial.[27]
Akhir kesimpulan itu dapat dimengertikarena akar teoritiknya melekat pada interaksionsme simbolik dan fenomenologi serta etnometodologi; yang memandang bahwa manusia selalu berada dalam satu dunia simbolik hasil konstuksi secara sosial. Ini artinya, melalui komunikasi antara pribadi, individu-individu membentuk defensisi-defensisi subyektif dan harapan-harapan mereka secara bersama. Karena itu pelu untuk saling dirembukkan (dikonsensualisasikan). Pada titik inilah akar konflik dimulai saat individu yang satu mencoba mempengaruhi defenisi subyektif individu yang lain lewat defenisinya yang juga bersifat subyektif. Namun demikian kajian mikro ini menjadi jauh lebih kompleks lagi saat didorong ke arah makro menjadi: keluarga, organisasi agama, komunitas ilmiah dan lain sebagainya. Selain itu, bertitik mula dari kajian mikro ini, Collins melakukan satu langkah sintetik cerdas dan kreatif untuk merambahi alam pemikiran Max Weber, Karl Marx, Emile Durkheim dan Goffman bagi keperluan membangun kerangka teori konflik yang dibayangkannya –juga secara subyektif.

: dari Weber
Kelas, status dan kekuasaan adalah tiga pendekatan Weberian yang diterima Collins. Menurutnya, setiap individu saling berjuang untuk memperbaiki posisi individualitasnya dalam tiga stratifikasi sosial tersebut. Sebagaimana Weber, Collins pun menolak perbedaan kelas secara ekonomistik sebagai satu-satunya sumber otoritatif. Collins menegaskan bahwa perbedaan prestise individu-individu melahirkan kelompok-kelompok status yang saling berbeda-beda; demikian juga dengan perbedaan kekuasaan yang tercermin pada partai-partai politik yang ada.

: dari Marx
Keberatan Collins pada pemikiran Marx terkait dengan dua hal: 1) Marxisme seperti fungsionalisme terlalu bersifat ideologis; 2) Marxisme terlalu berorientasi pada determinisme ekonomistik sebagai satu-satunya penentu perubahan sejarah. Hanya saja keberatan Collins nampaknya tidak terlalu kuat karena pada gilirannya Collins mempertimbangkannya kembali dalam kaitannya dengan analisis stratifikasi sosialnya. Pemikiran Marx tentang alat-alat produksi dan alat mental diperluas Collins. Melalui kontrol atas alat-alat produksi terkait dengan sumber-sumber mental, posisi individu-individu  ditentukan dalam stratifikasi sosial. Sementara itu, terkait dengan kontrol atas alat mental, produksi mental atau emosi dilakukan untuk melegitimasi posisi dominasi penguasa. Posisi dominasi ini umumnya dilakukan lewat media massa dan pendidikan.

: dari Durkheim
Collins menulis bahwa “terciptanya solidaritas emosional tidak menggantikan konflik melainkan merupakan salah satui alat utama yang digunakan dalam konflik.”[28] Ini artinya, solidaritas emosional (mekanik) Durkheimian digunakan untuk melakukan analisis terhadap “produksi emosional” melalui ritus-ritus atau upacara-upacara keagamanaan. Ritus tradisional ini adalah bentuk dominasi dalam kelompok; sarana membentuk persekutuan, senjata perlawanan terhadap kelompok lain, termasuk juga sebagai medium untuk menentukan hierarki prestise status kelompok terhadap kelompok lain.
Gambaran di atas adalah hasil analisis pada masyarakat tradisional. Pada masyarakat modern, kasusnya menjai sangat lain. Pada jenis masyarakat seperti ini, struktur politik dan militer adalah penentu struktur dominatif  dalam kelompok lewat kontrtol atas alat kekerasan atau kekuasaan dan paksaan untuk memberlakukan defenisi-defenisi subyektif penguasa terhadap individu-individu mayoritas. Hanya perlu ditekankan juga jika individu-individu yang dipaksa ini tidak berarti selalu dalam posisi ketertundukkan. Akan selalu ada usaha untuk melakukan perlawanan, paling tidak jika tidak untuk memenangkan setidak-tidaknya dapat mengurangi tingkat pemaksaan yang dihadapi.

: dari Goffman
Perspektif Durkheimian tentang solidaritas ritual (mekanik) oleh Collins dikaitkan dengan pemikiran Goffman. Goffman saat melihat kenyataan sosial, ia menulis sebagai berikut: “kehidupan sosial itu terjalin bersama oleh sejumlah ritus sehari-hari yang akibat kumulatifnya adalah menciptakan dan memperkuat ikatan emosional antara manusia dan ikatan emosional dengan kelompok atau masyarakat.”[29] Lebih jauh lagi Goffman memandang dalam kaitannya dengan strategi-strategi yang digunakan untuk menentukan penampilan-penampilan interaksional setiap individu dengan menulis: “individu-individu berusaha mengontrol kesan-kesan yang dibuatnya terhadap orang lain untuk memperoleh dukungan sosial bagi konsep dirinya yang ideal”. Di sini, Goffman berbicara soal “proyeksi identitas diri” sebagai tujuan interaksi yang harus dibuatkan definisi-definisi bersama, diperkuat dengan perilaku-perilaku aktual yang menyesuaikan dengan identitas diri yang diproyeksikan. Dengan demikian maka telealogi interaksi antara individu adalah dalam kerangka mempertahankan definisi-definsi subyektif mereka tentang realitas sosial sehingga masyarakat tidak lagi dipandang sebagai kenyataan obyektif melainkan definisi-definisi kolektif hasil komunikasi antarindividu-individu. Artnya, kenyataan sosial adalah hasil konstruksi kolektif dari definisi-definisi subyektif yang saling dikomunikasikan untuk diciptakan dan dipertahankan lewat interaksi ritual (Yang Mulia, Tuan Presiden, dll) setiap hari. Tepat di sini, Collins memandang pemikiran ritus-ritus interaksi mikro Goffman memperkuat konsepsinya tentang stratifikasi masyarakat.

: pekerjaan dan hubungan otoritas
Okupasi (occupation) atau pekerjaan adalah faktor utama dalam menentukan posisi kelas seseorang. Di mata Collins, penekanan Marx pada perbedaan kelas menjadi bagian penting karena menentukan pekerjaan sebagai sumber kehidupan individu-individu. Collins menegaskan: “pasti perbedaan yang paling penting di antara situasi-situasi kerja adalah hubungan kekuasaan yang terdapat di dalamnya (cara orang memberikan dan menerima perintah). Kelas-kelas dalam pekerjaan pada intinya merupakan kelas-kelas kekuasaan dalam dunia pekerjaan.”[30] Berikut ini adalah gambaran tentang okupasi dalam kaitannya dengan memerintah dan diperintah dan kaitannya dengan sifat posisi okupasionalnya oleh karena hubungan otoritas bagi Collins adalah bentuk persebaran hierarki berkesinambungan.

tabel. 4
hubungan otoritas dan sifat posisi okupasi

posisi hierarki okupasi
hubungan otoritas
(memerintah-diperintah)
sifat posisi okupasi
atas
Mereka yang memberi perintah pada yang banyak tetapi menerima perintah dari sedikit orang atau tidak ada sama sekali
Menerima penghormatan dari bawahannya, cenderung besar hati, percaya diri, ingin menguasai dalam orientasi diri, condong berpegang pada formalitas-ritualistik karena posisinya yang dominant
tengah
Mereka yang memberi perintah pada beberap a orang tetapi juga menerima perintah dari orang lain juga. Bagian ini paling luas
Gaya hidup dan orientasi subyektif mereka mencerminkan kedekatan mereka dengan kelas atas dan kelas bawah
bawah
Bawahan-bawahan dalam kelas okupasional yang hanya mengerjakan jenis pekerjaan fisik
Memiliki suatu budaya kelas pekerjaan tersendiri. Berorientasi masa kini
diolah sendiri dari karya Joyle Paul Johnson (1990)

Khusus pada kasus sifat posisi okup[asi tingkat menegah (power middle level), terdapat pula tingkat menengah atas yang memiliki kedekatan dengan kelas atas pada soak-soal tertentu. Perbedaan dengan tingkat paling bawah terletak pada sifat moralis mereka, pekerja keras, sehingga sangat mungkin status hierarkis mereka menjadi naik. Selain ini, posisi dalam suatu jaringan komunikasi juga menjadi pembeda lain antara pemberi dan penerima perintah.
1.      Puncak hierarki
Posisinya sentral dalam jaringan komunikasi organisasi, memiliki kontak yang luas dengan kelompok lain di luar kelompok di mana posisi mereka menjadi begitu dominatif; memiliki posisi kontrol terhadap sumber-sumber; termasuk otoritasnya atas para anggota kelompok untuk dikoordinasikan.
2.      Paling bawah
Terbatas jangkauan kontrol sosialnya, berada pada posisi pinggiran jaringan sosialnya, bersifat local –dan karenanya tidak bersifat kosmopolis seperti mereka yang berada pada puncak hierarki.

6
Menangani Konflik:
Beberapa Pendekatan Mengelola Konflik

: menuju resolusi konflik
Pada perteuan perdana kita telah kita bedakan bahwa konflik dapat dimengerti dalam wajah ganda: sebagai perspektif juga sebagai sebuah sengketa terbuka di ruang sejarah –dan karenanya pada pertemuan-pertemuan sebelum ini, konflik sebagai persepektif telah kita diskusikan, mengikuti beberapa pemikir terpilih. Karena itulah, pada pertemuan sekarang dan pertemuan-pertemuan yang akan datang, perhatian kita secara totalitas diarahkan pada kajian tematik tentang resolusi konflik; sesuatu yang lebih bersifat praktis; soal ketrampilan mengelola sebab-sebab konflik.[31]

: konflik dan kekerasan,
  dua hal yang berbeda
Di depan sudah dijelaskan ragam perspektif teoritik tentang konflik. Hanya saja bahwa demi kepentingan praktis penting untuk ditegaskan juga perbedaan konflik atas kekerasan mengingat batasannya menjadi begitu tipis, bahkan tidak ada sama sekali (dianggap sama) di kalangan banyak masyarakat.

konflik
adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu/kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan;
kekerasan
adalah segala hal yang meliputi tindakan, perkataan, sikap dari berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial, atau lingkungan dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh

Penegasan pada sasaran dan perilaku sebagai akar konflik dengan demikian dapat diterima sebuah asumsi umum yang mengatakan bahwa konflik selalu ada sebab konflik bahkan menjadi begitu diperlukan untuk mendorong ke arah perubahan. Asumsi-asumsi ini dapat lebih kukuh lagi dengan menampilkan aspek mendasar dari konflik seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

tabel. 5
sasaran dan perilaku


keterangan 4 tipe konflik:
tanpa konflik
dalam kesan umumnya lebih baik. Namun, setiap kelompok/masyarakat yang hidup damai, jika mereka ingin keadaan ini berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif.
konflik laten
sifatnya tersembunyi sehingga perlu diangkat kepermukaan agar dapat ditangani secara efektif
konflik di permukaan
memiliki akar yang dangkal (tidak berakar dan muncul hanya karena kesalah pahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi
konflik terbuka
berakar dalam dan sangat nyata serta memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya
 
 


SASARAN






P
E
R
I
L
A
K
U




perilaku yang selaras








 




tanpa konflik





 




konflik laten



perilaku yang bertentangan
















konflik di permukaan















konflik terbuka


Tipe-tipe konflik itu membutuhkan intervensi untuk ditangani, bukan ditekan sebab konflik dalam banyak kasus adalah solusi atas sebuah masalah. Konflik yang ditekan hanya akan melahirkan masalah baru dikemudian hari –bahkan konflik tesebut dengan mudah berubah menjadi kekerasan karena tiga alasan berikut:
1.      saluran dialog dan wadah untuk mengungkapkan perbedaan pendapat tidak memadai;
2.      suara-suara ketidaksepakatan tidak didengar dan diatasi;
3.      banyak ketidakstabilan, ketidakadilan dan ketakutan dalam masyarakat yang lebih luas.

Di sini, saat wajah konflik telah berkembang menjadi kekerasan maka kekerasan acap kali memberikan legitimasi antara kelompok untuk saling melenyapkan sebagai musuh. Pada titik inilah, budaya kekerasan muncul dan berkembang karena konflik selalu ditangani secara kekerasan pula. Pertanyaannya, lalu bagaimanan konflik seharusnya ditangani?


7
ragam pendekatan mengelola konflik

Umumnya terdapat lima pendekatan untuk mengelola empat jenis konflik di depan. Pendekatan-pendekatan itu kadang tidak dipandang secara terpisah tetapi sebagai tahapan-tahapan dalam satu proses menangani konflik. Ambil misalnya, “penyelesaian konflik” sebagai ebuah tahapan melibatkan “pencegahan konflik” pula sebagai tahapan lain. Lima pendekatan itu secara ringkat sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini.

tabel. 6
pendekatan mengelola konflik

pencegahan konflik
:bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras
penyelesaian konflik
:bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian
pengelolaan konflik
:bertujuan untuk membatasi dan mengakhiri kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-paihak yang terlibat
resolusi konflik
:tertujuan untuk menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan
transformasi konflik
:bertujuan mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif
diskematisasi sendiri dari karya

Melalui jenis-jenis konflik dan tipologi-tipologi pendekatan yang terpetakan di depan, tabel berikut adalah bentuk penegasan bagaimana sebuah pendekatan secara tepat diterapkan pada sebuah jenis konflik spesifik.


tabel. 7
jenis konflik dan pendekatan mengelola








meningkatnya kekerasan

 





jenis konflik
pendekatan
konflik
laten
konflik
di permukaan
konflik
terbuka
pencegahan konflik



penyelesaian konflik



pengelolaan konflik



resolusi konflik



transformasi konflik
































                                                                                   


[1] Adam Kuper dan Jessica Kuper, The Social Sciences Encyclopedia, terj. Indonesia oleh Haris Munandar, et. al, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 155.
[2] Dalam tradisi Marxian, misalnya, “materialisme dialektika” adalah bentuk pemikiran filosofis yang abstrak sedangkan “materialisme historis” adalah bentuk pemikiran interpretatif atas realitas sejarah yang terjadi. Baca Peta Pemikiran Karl Marx karya Syamsuddin Haris.
[3] Marxian asal Itali ini menekankan pada pentingnya hegemoni cultural sebagai bentuk dominasi. Lawannya adalah kontra-hegemoni yang didesakkan oleh arus bawah.
[4] Mereka menekankan pada bagaimana sistem ekonomi yang pada kenyataannya ditandai dengan ketergantungan dan ketimpangan adalah tanggung jawab kekuasaan ekonomi, politik, dan militer untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pertukaran yang tidak adil, ibid,.
[5] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, Sixth Edition, terj. Indonesia oleh Alimandan, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 115-116.
[6] Sunyoto Usman, Sosiologi: Sejarah, Teori dan Metodologi, (Jogjakarta: CIRed, 2004), h. 64.
[7] George Ritzer, Sosilogi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. Indonesia oleh Alimandan, (Jakarta: Rajawali –tahun tidak terlacak), h. 30.
[8] Selain kedua teori ini, teori lain yang masuk dalam paradigma fakta sosial adalah teori sistem dan teori sosiologi makro. Ibid., h. 52.
[9] Ritzer dan Goodman, op,. cit,. h. 116.
[10] Ibid,. h. 153.
[11] Ritzer, op,. cit,. h. 31.
[12] Ritzer dan Goodman, op,. cit,. h. 153-154.
[13] Ritzer, op,. cit,. h. 31-32.
[14] Ritzer dan Goodman, op,. cit,. h. 155-156.
[15] Ibid,. h. 156, lih. Ritzer, op,. cit,. h. 32.
[16] Ibid,. h. 157 dan Ritzer, ibid,. h. 33.
[17] Doyle Paul Johnson, Sociological Theory: Classical Founders and Contemporary Perspectives, terj. Indonesia oleh Robert M. Z. Lawang, (Jakarta: Gramedia, 1990), h. 195-196.
[18] Ibid,.
[19] Ibid., h. 198-199.
[20] Ibid., h. 201-202.
[21] Ibid., h. 202-203.
[22] Ibid., h. 205.
[23] Ibid., h. 172.
[24] Ibid., h. 173-175.
[25] Ibid., h. 180.
[26] Ibid., h. 181.
[27] Ibid., h. 27, lih. Juga Ritzer dan Goodman, op,. cit., h. 160-161.
[28]  Joyle P. Johnson, ibid., h. 207.
[29] Ibid., h. 210.
[30] Ibid., h. 211.
[31] Seluruh bagian ini didasarkan pada Simon Fisher, dkk, (2000), Mengelola Konflik: Kentrampilan dengan Strategi Untuk Bertindak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar