1
pendahuluan:
pengantar
ke arah teori dan resolusi konflik
KONFLIK akan
selalu menjadi bagian penting dalam sejarah manusia sehingga dengan sendirinya
konflik pun tetap menyita perhatian pemikiran ummat manusia. Karena itulah,
menjadi dapat dimengerti mengapa secara umum konflik dilihat dalam wajah ganda:
konflik sebagai sebuah perspektif dan
sebagai pertikaian terbuka. Yang
pertama ia membangun asumsi dasar bahwa akan selalu terdapat konflik dalam
interaksi manusia dan struktur sosial; yang kedua, wujud realnya mengambil
bentuk dalam perang, revolusi, pemogokan, dan gerakan-gerakan perlawanan
lainnya.[1]
: konflik
sebagai perspektif
Sebagai perspektif, konflik adalah hasil konstruksi teoritik
pemikiran manusia –entah apakah ia merupakan hasil perenungan abstrak filosofis
ataukah sebagai hasil interpretasi atas realitas empirik yang menggemuka secara
menyejarah.[2]
Tulisan-tulisan para pemikir besar seperti Thucydides, Machiavelli, Hobbes,
Marx dan Angels; atau Gomplowitz, Ratzenhover, Novicaw; demikian juga Simmel
adalah akar-akar teoritik konflik sebagai sebuah perspektif. Ini artinya, teori
konflik dapat dilacak hingga pada pemikiran-pemikiran paling kuno tentang bagaimana
para penguasa mempertahankan kekuasaan mereka.
Hanya saja, pada perkembangannya yang paling dini, teori
struktural-fungsional yang mengedepankan konsensus dan kesepakatan nyatanya
lebih mendominasi dunia pemikiran ilmu-ilmu sosial. Pemikiran-pemikiran yang
mengedepankan titik perhatiannya pada teori konflik baru mengedepan pada
dasawarsa 1960-an –ini terutama terjadi di negara-negara berbahasa Inggris –
seiring dengan situasi dunia politik pada tahun-tahun tersebut sarat ketegangan
dan kekacauan, tidak saja pada zona domestik melainkan pula meluas secara
internasional. Pada era-era ini, Marx menjadi sumber inspirasi pemikiran teori
konflik mereka meskipun kesimpulan akhir mereka cukup berbeda dengan kesimpulan
pemikiran Marx sendiri. Sebut saja, misalnya, Antonio Gramsci (1971),[3]
Ralf Dahrendorf (1959), Randall Collins (1975) adalah tiga nama besar di antara
banyak pemikir yang memberikan perhatian kuat pada teori konflik. Para pemikir
teori keterbelakangan (underdevelopment)
pun menggunakan perspektif konflik dalam studi-studi pembangunan ekonomi mereka
atas negara-negara dunia ketiga.[4]
Singkatnya, sebagai perspekti, teori konflik tidak saja menjelasakan
bagaimana sebuah tatanan terpelihara dalam kesenjangan –hal lebih penting
adalah bagaimana menjelaskan sebuah struktur sosial mengalami perubahan sebab
sekalipun ia tidak mengabaikan kerja sama dan kesamaan kepentingan tetapi
memang perhatian utamanya lebih diarahkan ada orientasi tentang persainagan dan
ketidaksesuaian. Asumsi dasarnya menyebutkan bahwa “manusia pada dasarnya tidak
ingin didominasi atau dipaksa sehingga setiap kali ada dominasi atau paksaan
akan melahirkan perlawanan”. Di sini, nampak bahwa pemaksaan atau koersif
adalah cara utama untuk mencapai sebuah tujuan yang diinginkan sebagi
kepentingan.
: konflik
sebagai pertikaian terbuka
Pada kenyataannya konflik memiliki banyak bentuk: perang, revolusi,
pemogokan, kerusuhan rasial, atau pertikaian antarindividu. Kenyataannya, ini
telah mendorong kalangan ilmuan tidak saja memetakan jenis-jenis konflik yang
terjadi dalam hubungan-hubungan
ketergantungan dan hubungan-hubungan
pertukaran yang terlembagakan. Para ilmuan pun diminta untuk mampu
menemukan penyebab-penyebab umum sebuah konflik, pola-pola eskalasi, cara
menyelesaikan, dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh konflik yang mengemuka.
Berikut ini adalah tiga jenis konflik saling terkait yang dapat dipetakan
secara umum sekalipun sebenarnya ragam jenis konflik cukup tajam polarisasinya.
1.
Karakter
pihak yang berkonflik
Hal ini dapat dibedakan menurut tingkat organisasi dan
kekompakannya. Di satu pihak terdapat organisasi yang memiliki peraturan
keanggotaan dan pedoman tindakan yang ketat seperti pemerintah, serikat buruh,
dsb, di pihak lain ada kelompok-kelompok longgar yang bersifat abstrak seperti
kelas sosial tertentu atau pendukung sebuah ideology tertentu yang sulit
dilihat atau dibuktikan.
2.
Hakikat
tujuan (terdapat pertentangan-pertentangan tujuan)
Jenis-jenis tujuan pun cukup beragam. Ambil misalnya, untuk
menguasai tanah, uang atau hal-hal sederhana tetapi dianggap bernilai bagi
pihak-pihak tertentu. Konflik terjadi karena perbedaan tujuan melibatkan lebih
dari satu pihak. Konflik yang bertujuan untuk memperebutkan sesuatu yang
bernilai materi disebut konflik
konsensual, sedangkan konflik
dissensual adalah konflik dengan tujuan untuk memperebutkan sesuatu yang
dianggap bernilai tetapi tidak dalam pengertian material.
3.
Cara atau
sarana yang digunakan
terdapat banyak cara sebagai sarana konflik: pemaksaan
terang-terangan, ancaman, atau mungkin juga cara paling halus seperti bujukan.
Bila konflik seperti ini terus diulang-ulang maka konflik akan terlembagakan
demikian juga dengan cara pun ikut terlembagakan menjadi tradisi dalam relasi
sosial mereka.
: asal-usul
konflik sosial
Pada dasarnya asal-usul atau sebab-sebab sebuah konflik dipicu oleh
banyak hal. Para ilmuan sosial menyebutkan bahwa sebuah konflik sosial dipicu
oleh hubungan-hubungan sosial, ekonomi dan politik –mereka tidak menempatkan
sidat dasar biologis sebagai akar sebuah konflik. Secara lebih spesifik lagi
sebagaian teoritisi sosial menilai konflik sebagai hasil perebutkan atas
sesuatu yang terbatas; sebagai yang lain menyoroti ketimpangan sebagai
sebab-sebab pemicu konflik; yang lain lagi menilai karena perbedaan pada tujuan
dan nilai-nilai –jenis konflik yang terakhir ini relative lebih muda untuk
dicegah sejauh terdapat kemandirian dan persamaan nilai antara para pihak yang
terlibat dalam konflik.
Tentu masih terdapat sebab lain sebagai pemicu konflik sosial, yakni
dari sistem yang melingkupi pihak-pihak yang bertikai. Dalam konteks ini, para
pemikir fungsionalisme menilai konflik terjadi karena perubahan sosial yang
terjadi secara tidak merata seperti diungkapkan oleh C. Johnson, T .R. Gurr
(1970) menekankan kesadaran pada pihak-pihak yang bertikai (deprivasi absolut
atau relative); J. A. Goldstone (1991) menekankan pada kekuatan dan kohesi
kelompok dominant; atau bagi C. Tilly (1978) akar konflik berawal dari sikap
kelompok-kolompok yang menginginkan perubahan terus berusaha melakukan
mobilisasi untuk menc apai tujuan agenda perubahan mereka.
: eskalasi,
de-eskalasi,
dan penyelesaian konflik
Titik perhatian para ilmuan atas konflik selama ini lebih banyak
menyoriti soal perilaku koesif dan eskalasinya. Namun demikian, dewasa ini
terjadi juga dikalangan ilmuan sosial terbangun kesadaran tentang pentingnya
menaruh perhatian pada tema de-eskalasi dan tema penyelasaian konlik. Hanya
bahwa, seperti eskalasi –de-eskalasi konplik pun dipengaruhi oleh
perkembangan-perkembangan internal seiap kelompok yang bertikai, baik interaksi
antara mereka maupun tindakan mereka yang sejak awal tidak terlibat konflik.
Proses tentang itu mengambil pola pentahanan sebagai berikut:
- Faktor internal itu mencakup aneka ragam proses psikologi sosial dan perkembangan organisasional yang dapat mengembangkan komitemn mengakhiri konflik. Alasannya, selain terdapat kelompok yang memperoileh keuntungan dari konflik yang terjadi, terdapat juga kelompok lain yang kehilangan keuntungan (kekuasaan atau sumber daya) sehingga kelompok-kelompok seperti ini menjadi sedikit kehilangan komitmen meneruskan konflik mereka;
- Bila interaksi berbagai pihak yang bertikai tidak bersifat intimidatif atau profokatif maka proses de-eskalasi akan berlangsung menuju konsolidasi untuk mengakhiri konflik;
- Pihak-pihak yang dari awal tidak terlibat konflik jika memilih mengambil langkah-langkah bergabung dalam konflik guna untuk memperoleh keuntungan maka eskalasi konflik akan meningkat; tetapi bila sebaliknya, memilih mengambil posisi sebagai pengimbangan maka kecenderungannya lebih mengarah pada de-eskalasi guna mengakhiri konflik.
Dari gambaran itu, dapat ditegaskan bahwa bila pihak-pihak yang
berkonflik memperoleh keuntungan dari proses konlik maka kemungkinannya adalah
eskalasi konflik; tapi bila yang terjadi adalah ada pihak yang dirugikan dari
proses konflik itu maka kemungkinan de-eskalasi menjadi lebih terbuka. Di sini
nampak menjadi jelas bahwa dalam studi-studi konflik sosial, pemahaman mengenai
penyebelasain konlik menjadi aspek penting dalam studi tentang konlik sosial.
2
konflik
dan relasi kekuasaan
: menuju pemikiran
Ralf Dahrendorf
Selain fungsionalisme dan neofungsionalisme, teori konflik pun
merukapakan salah satu aliran utama salam tradisi teori sosiologi modern.
Menurut Colomi (1990), berkat usaha keras dua tokoh garis depannya, Talcott
Parson dan Robert Marton, posisi teori fungsionalisme sempat menjadi arus
dominant dalam sosiologi sebelum akhirnya runtuh sehingga maknanya kini hanya
bersifat histories. Runtuhnya
fungsionalisme telah menebangkan lahirnya teori neofungsionalisme. Namun
demikian, posisi teori ini –yang lahir pada dasawarsa 1980-an –tidak dapat
bertahan lama karena secara ironi ditinggalkan oleh pendirinya sendiri, Zevrey
Alexander. Sang penggagas menilai neofungsionalisme “tidak lagi memuasakannya”.
Ia justru menegaskan bahwa “Aku kini memisahkan diriku dari gerakan yang aku
sendiri memulainya”. Krisis fungsionalisme dan neofungsionalisme inilah yang
menempatkan posisi teori konflik sebagai alternatif teoritik selama beberap
tahun dalam sosiologi.[5]
Berangkat dari latar historis sosiologi itulah maka para sosiolog
memandang model analisis struktural memiliki dua tradisi berbeda: tradisi analisis strukturalisme-fungsional yang
mengedapankan konsensus dan tradisi
analisis strukturalisme-konflik yang menekankan pada wilayah pertentangan.[6]
Bahkan kehadiran teori konflik oleh Ritzer dipandang sebagai bentuk penentangan
secara langsung atas teori fungsional.[7]
Pada buku yang ditulisnya bersama Goodman, penentangan konflik atas fungsional
itu tergambar jelas pada tabel 1 di bawah ini.
tabel.
1
penentangan
konflik atas fungsionalisme
aspek teoritik
|
asumsi strukturalisme-fungsional
|
Asumsi
strukturalisme-konflik
|
basis masyarakat
|
berbasis
norma dan nilai
|
Berbasis dominasi
|
keteraturan sosial
|
berdasarkan
kesepakatan
|
berdasarkan kontrol dan manipulasi;
|
perubahan sosial
|
secara lamban dan teratur.
|
secara cepat dan
tidak teratur saat kelompok subordinat menggulingkan kelompok dominant
|
diolah sendiri dari karya Ritzer dan Goodman (2003)
Meskipun demikian, menurut Thomas Bernard (1983), persamaan kedua
teori strukturalisme ini jauh lebih ekspersif dibandingkan perbedaannya sebab
kedua-duanya merupakan studi makro yang memberikan perhatian utama pada struktur sosial dan institusi sosial. Titik perhatian inilah yang mendorong Ritzer
memandang kedua-duanya sebagai bagain dalam paradigma
fakta sosial (social fact paradigm).[8]
Memang bahwa terdapat pertentangan antara kedua teori ini adalah fakta yang
juga diakui Bernard –yang baginya, peta pertentangan teoritik ini telah dimulai
sejak pertarungan antara pemikiran Plato (mewakili teori konsensual) dengan
Aristoteles (konflik) sebelum diramaikan oleh sejumlah pertentangan besar yang
melibatkan para pemikir besar: Comte-Marx, Durkehim-Simmel, Parson-Dahrendorf.[9]
Nama yang disebut terakhir inilah (Ralf Dahrendorf) yang belakangan
disebut-sebut sebagai tokoh sentral teori konflik; sebuah teori yang mengganti
posisi dominasi fungsionalisme tetapi juga menyediakan landasan pijak bagi
teori neo-marxian. Sekalipun sebagai alternatif atas teori fungsionalisme,
tetapi seperti telah disebutkan di depan bahwa teori konflik tetap merupakan
bagian dari struktralisme (strukturalisme-konflik) maka teori ini dipandang
gagal melepaskan dirinya dari pengaruh teori fungsionalisme sehingga oleh
Ritzer dan Goodman memandangnnya sebagai “jenis fungsionalisme struktural yang angkuh”
dan bukan sebagai sebuah pandangan kritis atas masyarakat.[10]
: pemikiran Ralf
Dahrendorf
Melalui karya klasiknya, Class
and Class Conflict in Industrial Sociaty (1959), Ralf Dahrendorf diakui
luas sebagai tokoh terpenting dalam tradisi pemikiran teori konflik. Tidak
seperti Marx yang memandang hubungan-hubungan
kepemilikan sebagai akar konflik, menurut Dahrendorf, hubungan-hubungan kekuasaan-lah harus dipandang sebagai akar
konflik sebenarnya. Atas dasar itulah, tesis pemikirannya menyebutkan bahwa distribusi kekuasaan dan wewenang secara
tidak merata memeberikan implikasi pada konflik sosial.[11]
Perhatiannya yang kuat pada teori konflik membuat posisi intelektualnya
berseberangan dengan para pemikir fungsionalisme semila Parson. Karena itulah,
Dahrendorf dipandang sebagai tokoh antitesis terbaik antara teori konflik
dengan fungsionalisme. Peta antitesis itu sebagaimana terlihat pada table 2
berikut ini.
tabel.
2
peta
antitesis versi Dahrendorf
teori fungsionalisme
|
keori konflik
|
Masyarakat berada dalam kondisi statis,
berada dalam perubahan secara seimbang
|
Masyarakat setiap saat selalu tunduk pada
proses perubahan lewat pertentngan-pertenganan antara unsur-unsur
|
Setiap bagian (sistem) memberikan
dukungan pada stabilitas
|
Setiap bagian menyumbang pada konflik
(disintegrasi sosial) dan perubahan
|
Anggota masyarakat terikat secara
informal dengan norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum
|
Keteraturan dalam masyarakat adalah hasil
pemaksaan bagian atas terhadap bagain bawah
|
Menekankan keteraturan
|
Melihat pertetnangan dan konflik
|
Konsel-konsep utamanya adalah fungsi,
disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan
|
Konsep-konsep
utamanya adalah wewenang dan posisi
|
Melalui peta antitesis itu ia memandang teori sosiologi harus
memiliki dua bagian mengikut dua wajah masyarakat, yakni konflik dan consensus.
Ini membuat konflik dan consensus inhern pada masyarakat. Tegasnya, “konflik
dan consensus (fungsionalisme) adalah syarat mutlak ada atau tidak adanya
sebuah masyarakt” sebab konflik menguji pertentangan kepentingan dan penggunaan
kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dalam tekanan, sementara koinsensus
menguji dimensi nilai integrasi dalam setiap masyarakat. Namun demiukian, ia
tetap menolak teori sosiologi tunggal sebagai kemungkinan dan tetap pada
pendiriannya untuk mengembangkan teori konfliknya seteklah menyadari bahwa
masyarakat pada prinsipnya diinterasikan oleh mekanisme “ketidakbebasan dan
dipaksakan”.[12]
: otoritas
(wewenang) dan posisi
Sedikit telah disinggung di depan bahwa distribusi kekuasaan dan
wewenang telah menjadi pemicu utama sebuah konflik terjadi sejauh distribusi
itu terjadi secara tidak merata. Mengapa?
Menurut Dahrendorf, wewenang yang berbeda adalah tanda tentang
berbagai posisi yang berbeda pula dalam masyarakat. Dalam bahasa lain, struktur
posisi yang berbeda menentukan otoritas dengan kualitas yang berbeda pula. Atas
dasar itulah, menjadi berasalan mengapa Dahrendorf memandang perhatian bidang
utama sosiologi harus mengarah pada studi tentang perbedaan posisi dan wewenang
individu-individu dalam masyarakat sehingga identifikasi berbagai peranan
sosial dalam masyarakat adalah tugas utama analisis konflik sebab berpotensi
mendominasi dan didominasi.
Dengan penegasan seperti itu, maka menjadi jelas jika otoritas tidak
melekat pada individu (orang) tetapi melekat pada posisi yang ditempati
individu. Perbedaan posisi antara individu-individu inilah yang membuat berbe
juga otoritas antara satu individu dengan individu lain sementara otoritas
sendiri menegaskan tentang superordinasi individu yang berada pada struktur
posisi atas terhadap individu yang menempati struktur posisi bawah yang
tersubordinasi. Relasi atau hubungang-hubungan kekuasaan ini membuat kekuasaan
dan wewenang menjadi sah karena dilegitimasi oleh perbedaan possi mereka.
Artinya bahwa seseorang pada sebuah struktur posisi adalah superordinasi
sekaligus subordinasi sebagaimana terlihat pada tabel 3 di bawah ini. Jenis
masyarakat seperti ini disebut Dahrendorf sebagai persekutuan atau asosiasi yang dikoordinasikan secara paksa (imperatively coordinated association).
tabel.
3
otoritas
dan posisi
![]() |
: peran laten
Kekuasaan telah menjadikan struktur sosial menjadi struktur penguasa
dan yang dikuasai di mana pihak penguasa berkepentingan mempertahankan
kekuasaannya sedangkan pihak yang dikuasai berkepentingan melakukan perubahan.
Pertentangan ini berlangsung tanpa henti sehingga kekuasaan sah penguasa
senantiasa dalam keterancaman. Akar persoalan dari situasi pertentangan ini
terletak pada perbedaan kepentingan sementara perbedaan kepentingan dilahirkan
oleh perbedaan posisi (posisi individu-individu sebagai penguasa dan posisi
individu-individu sebagai yang dikuasai). Pada situasi inilah, maka sikap dan
tindakan individu adalah cerminan nyata dari cara-cara yang diharapkan oleh
kelompoknya masing-masing. Pada saat konflik terjadi, setiap individu harus
dapat menyesuaikan diri dengan peran yang diharapkan oleh kelompok struktur
sosialnya. Sikap penyesuaian diri yang dilakukan individu inilah disebut
Dahrendorf sebagai peran laten.[13]
: konsep
kepentingan
(nyata dan tersembunyi)
Posisi dikotomis antara dua kelompok konflik di atas adalah akibat
dari defenisi posisional individu-individu menurut perbedaan-perbedaan
kepentingan bersama (common interest)
kelompok yang satu (penguasa) atas kelompok yang lain (dikuasai). Kelompok yang
pertama berkepentingan mempertahankan status quo; yang kedua menuntut perubahan
sehingga dengan demikian setiap individu harus menyesuiakan diri/disesuiakan
secara objektif. Di sebut objekti karena peran dan tindakan mereka dibedakan
berdasarkan perbedaan posisi. Hanya saja bahwa individu-individ yang
menyesuaikan atau disesuaikan perannanya menurut posisi mereka masing-masing
ini tidak mesti selalu disdari. Penyesuaian peran yang tidak disadari disebut
sebagai kepentingan tersembunyi sementara
kepentingan nyata adalah penyesuaian
peran yang telah disadari.[14]
: kelompok yang
terlibat konflik
Menurut Dahrendorf, konflik sosial secara tegas memola tiga tipe
kolompok utama yang terlibat, yakni:
1.
quasi
group
Sejumlah atau kumpulan para pemegang kekasaan atau ororitas atau
jabatan yang memiliki kepeningan yang sama. Kelompok semu ini muncul karena
adanya kemunculan kelompok kepentingan.
2.
interest
group
Kelompok kepentingan muncul (keanggotaannya) dari kelompok semu.
Kelompok ini memiliki struktur, program, tujuan dan anggota yang luas. Kelompok
ini juga adalah sumbernya dari sebuah konflik sosial dalam masyarakat.
3.
conflict
group
Kelompok konflik lahir dari ragam jenis kelompok kepentingan yang
ada.[15]
: konflik dan
perubahan sosial
Perubahan adalah sasaran dari sebuah konflik sebab konflik memimpin
ke arah perubahan dan pembangunan. Arah ini adalah akibat dari langkah-langkah
yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang terlibat sehingga sebuah perubahan
radikal akan terjadi sejauh konflik berlangsung secara hebat, dan perubahan
struktur sosial itu terjadi efektif bila konflik disertai pula dengan
kekerasan. Singkatnya, sosiologi harus memberikan perhatian pada hubungan
antara konflik dengan perubahan dan konflik dengan status quo.[16]
: pemikiran
Dahrendorf
(beberapa komentar kritis)
Pemikiran Dahrendorf telah mendapat banyak kritikan dari banyak
kalangan. Mereka adalah Hazelringg (1972), Turner (1973), dan Weingart (1969).
Sementara Pierre van der Berghe (1963) dan George Ritzer dalam nada yang sama
menilai teori konflik mengabaikan kenyataan-kenyataan keteraturan dan
stabilitas, nilai-nilai dan norma-norma karena perhatiannya yang hanya terpaku
pada pertentangan sebagaimana perhatian fungsionalisme yang hanya terpaku pada
konsensus –keduanya saling mengaibakan. Sementara itu kritik tiga tokoh di
depan secara umum tergambar pada tiga poin berikut: pertama, tidak mencerminkan pemikiran Marxian –sebagai sebuah
interpretasi tidak lengkap teori Marxian ke dalam sosiologi; kedua, lebih dekat pada fungsionalisme
sehingga menderita hal yang sama dihadapi fungsionalisme; ketiga, seperti fungsionalisme, teori konflik bersifat makroskopik
sehingga sedikit sekali menyumbang pada pemahaman kita atas pemikiran dan
tindakan kita.
3
konflik
dan fungsi integrasi
: mengenali
pemikiran Coser
Lewis Coser adalah sosiolog asal Amerika. Itulah mengapa ia
mengawali kajian konfliknya dengan menyerang fungsionalisme yang pada waktu itu
mendominasi peta pemikiran sosiologi di Amerika. Alasannya, fungsionalisme
terlalu menekankan pada nilai dan konsensus normative, keteraturan dan
keselarasan sehingga konflik dipandang sebagai mengacaukan atau disfungsional
sistem. Di sinilah, ketika pada tahun 1956 ia menerbitkan karyanya, The Fungtions of Social Conflict, pemikiran
konfliknya dipandang sebagai alternative atas perspekti teori konlik radikal
yang hampir seluruhnya mengambil inspirasi dari pemikiran Karl Marx.
Coser memilih pemikiran Simmel sebagai landasan teoritiknya. Menurut
Simmel, konflik adalah salah satu bentuk relasi sosial paling mendasar. Karena
konflik adalah relasi mendasar, perhatian Coser tertuju pada
konsekuensi-konsekuensi konflik atas sistem sosial di mana konflik itu terjadi
dengan asumsi bahwa konflik tidak selalu
disfungsional atau merusak sistem sebab ia pun memiliki
konesekuensi-konsekuensi positif yang menguntungkan sistem.[17]
: konflik
antarkelompok dan
Solidaritas kelompok-dalam
Mengapa konflik dipandang memiliki nilai atau fungsi yang positif
atas sistem? Menurut Coser, kita harus mencermati pada dinamika antagonisme
yang melibatkan kelompok-dalam (in-group)
dan kelompok-luar (out-group). Kedua
kelompok ini memiliki batas yang tegas di mana pada kelompok-dalam tekannya
adalah fungsionalisme sementara pada kelompok-luar berlaku persepketif teori
konflik. Alasannya adalah karena ketika konflik atas kelompok-luar begitu
intensi maka solidaritas dan integrasi internal kelompok-dalam menjadi ikut menguat
lewat kekompakan, konformitas dan komitmen. Memang tidak selalu yang terjadi
adalah demikian. Hanya saja bahwa mereka yang melakukan solidaritas dan
integrias atas kelompoknya akan dianggap sebagai penyimpang dan karenanya
ditempatkan dalam posisi yang diawasi –jika tidak diusir.[18]
Penjelasan ini menunjukkan bahwa konflik diperlukan karena memiliki implikasi
bagi kemhuatnya soludaritas dan integrasi intenal sistemik dalam
kelompok-dalam. Karena itulah musuh selalu diciptakan untuk mengambil posisi
sebagai pihak kelompok-luar.
Pertanyaan penting lain lagi adalah apakah ancaman kelompok-luar
merangsang lahirnya sentralisasi kekuasaan dan apakah pemusatan kekuasaan itu
bersifat menekan atau kejam? Menurut Coser, semua itu tergantung pada sifat
ancaman dari kelompok-luar dan solidaritas struktur internal kelompok-dalam.
Artinya, jika acaman dari kelompok luar memiliki intensitas yang cukup tinggi,
perang, misalnya, sementara pada struktur internal kelompok-dalam terjadi
pembangian kerja (divition of libour)
maka sentalisasi kekuasan diperlukan untuk konolidasi struktur internalnya.
Kecenderungan kekuasaan menjadi menekan pun dalam konteks ini dibenarkan karena
tekan kekuasaan yang tersentralisasi itu dimengerti sebagai upaya menggalang solidaritas kelompok-dalam
untuk melawan kelompok-luar.
Pernyataan terakhirnya adalah: apakah akan terjadi keruntuhan
kelompok-dalam ataukah kian meningkat kontrol kekuasaan yang bersifat
otoritatif jika yang terjadi adalah kecenderungan lain, yakni anggota-anggota
kelompok dalam menjadi apatis dalam menghadapi kelompok luar? Lagi-lagi bagi
Coser dengan tegas mengatakan bahwa itu sangat tergantung pada kemampuan
penguasa dan pada pilihan tegas untuk meninggalkan kelompok menjadi mudah
dilakukan; tetapi bila kasusnya adalah negara-bangsa, resikonya akan lebih
sulit untuk ditinggalkan.
Tentang kontrol otoritatif, seperti sudah diperlihatkan di depan, ia
cukup prospektif untuk solidaritas kelompok-dalam. Hanya saja jika terlalu
keras ia berpotensi menyulut pemberontakan paca konflik eksternal dengan
kelompok-luar. Hanya bahwa pemberontakan-pemberontakan seperti ini umumnya
selalu gagal karena penguasa lalu begitu cepat mengendalikan sumber-sumber
tempat para anggota kelompok-dalam menjadi begitu tergantung pada sumber-sumber
itu.[19]
: konflik dan
solidaritas
dalam kelompok-dalam
solidaritas dalam kolompok-dalam sangat mungkin terjadi jika
persaingan antara individu-individu atas hal-hal yang diangap langkah
(meningkatkan kesejahteraan, kekuasan, prestise, dll) dapat ditempatkan pada kerangka
konsensual untuk menghindari disintegrasi kelompok. Ini artinya, permusuhan dan
pertentangan (antagonisme) dapat dirundingkan dan diterima secara terbuka maka
fungsi konflik bersifat integratif.
: jenis konflik
dan
perubahan sosial
Apabila konflik dipendam, yang terjadi adalah terputusnya hubungan
antara individu-individu dalam kelompok. Konflik sendiri memiliki dua jenis,
yakni: konflik realistik dan konflik non-realistik. Konflik realistik
adalah konflik yang ditujukan pada sebuah tujuan tertentu sebagai objek konflik
sementara kedudukan konflik sendiri adalah sekedar alat untuk mencapai tujuan
tersebut. Ini artinya, akar konflik bersumber pada objek konflik sehingga
ketika objek itu hilang maka konflik dengan sendirinya akan ikut menghilang dari
permukaan –selesai.
Tentu saja ini cukup berbeda dengan jenis konflik non-realistik.
Konflik jenis ini menempatkan konflik (perasaan bermusuhan) tidak sebagai alat
tetapi sebagai objek konflik itu sendiri. Karena itu, jenis konflik ini cukup
sukar untuk ditangani.[20]
Isu perubahan dalam konflik dalam konteks ini dengan demikian lebih segaris
dengan jenis konflik realistik karena jenis ini menguntungkan sistem –perubahan
menghasilkan kepekaan pada kebutuhan individu-individu anggota sistem maka
komitmen mereka pada sistem pun menjadi menguat.[21]
: konflik dan
stimulasi pada
integrasi antara kelompok
Pada situasi konflik yang keras, beberapa kelompok menjadi sangat
terbuka untuk membentuk koalisi sejauh yang dilawan adalah dijadikan sebagai
musuh bersama (common anemy). Apakah
kondisi ini bersifat permanen? Ini sangat ditentukan oleh hal-hal seperti:
kesamaan budaya, jumlah kepentingan bersama, juga tingkat perlawanan yang
menekankan perubahan yang dihadapi dalam kelompok lawan.[22]
4
konflik,
koalisi kekuasaan, hukum besi olikarki, dan massa pasif
: sekilas
tentang ide
C. Wright Mill
Fungsionalisme hampir pasti selalu diserang oleh para teorisi
konflik –dan Mills, seorang pemikir besar yang lahir dan besar di Texas,
Amerika –adalah tak pelak lagi menjadi tokoh garis depan yang secara terbuka
dan keras ikut mengecam.[23]
Tiga tahun sebelum menerbitkan karya monumentalnya, The Sociological Imagination (1959),
pada tahun 1956 ia telah menerbitkan sebuah karya penting dengan judul The Power Elite. Melalui karya ini,
Mills menghadirkan satu studi berani yang menyingkap struktur kekuasaan Amerika
pada tiga titik orbit penting: institusi ekonomi, militer dan politik. Para
elit di tiga institusi ini (orang kaya, panglima perang dan direktur politik)
mengorganisir kekuasaan mereka secara terpadu. Kekuasaan terintegrasi ini
adalah sumber-sumber keputusan penting –yang demi kepentingan para elit, model
keputusan-keputusan mereka menjadi referensi yang menentukan struktur dasar dan
arah masyarakat Amerika secara keseluruhan.
Melalui penegasan-penegasannya itu, Mills melontarkan tesis utamanya
bahwa, “keputusan-keputusan mereka yang menduduki posisi atas dalam institusi
ekonomi, militer dan politik adalah referensi pembentukan kehidupan semua orang
yang kekdudukan posisional kekuasaan mereka lebih rendah.”[24]
Pada situasi ini, keterlibatan public hanya berhenti pada sikap poasif menerima
dominasi kekuasaan yang membangun kekuasaannya –terutama melalui pengaruh
indoktrinasi media massa.[25]
: pokok gagasan
Robert Michels
Michels memiliki pemikiran yang hampir mirip dengan Mills. Ia,
melalui karyanya, Political Party (1915),
melakukan analisis mendalam terhadap partai politik dan serikat buruh untuk
melahirkan tesis besarnya tentang iron
law of oligarchy –“hukum besi oligarki”.
Melalui hukum ini, ia menunjukkan fakta bahwa tedapat kecenderungan
umum kekuasaan untuk melakukan konsentrasi pada suatu elit. Elit-elit ini hanya
beusaha –melalui keputusan-keputusan dan tindakan mereka –untuk mempertahankan
kekuasaan mereka dan tidak untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat jelata.
Lebih jauh lagi, paradoks hukum ini memperlihatkan ironi bahwa sekalipun
ideology mereka demokratis tetapi pada kenyataannya struktur demokrasi
cenderung digeser menjadi oligarki. Mengapa?
Pertama, karena munculnya pimpinan yang dibayar; kedua, luasnya organisasi. Pada hal yang disebut kedua ini,
terdapat jarak yang lebar anatara mereka yang berada pada posisi atas dan
mereka yang menempati ruang posisional di bagian bawah sehingga pada tingkat
operasional organisasi, mekanisme pengambilan keputusan, mereka yang berada
pada posisi bawah memilih menarik diri dari sikap aktif-partisipatif menjadi
sebatas massa pasif karena merasa suara mereka kan tetap tidak didengar oleh
mereka yang berada di posisi atas.
Sikap pilihan sebagai massa pasif ini dimanfaatkan para elit untuk
kian memperbesar kekuasaan mereka demi mengejar kepentingan mereka dengan tidak
menghiraukan keberadaan perlawanan kaum oposan. Sejauh posisi perlawanan
oposisional menjadi kuat, kontrol atas informasi diperketat dengan memanfaatkan
pusat-pusat sistem komunikasi; tetapi jika posisi itu kian tangguh, maka kaum
oposan akan dengan cerdik ditarik masuk dalam lingkaran para elit berkuasa. Ini
artinya, para elit bertindak leluasa karena jabatan-jabatan mereka memberikan
mereka legitimasi –sesuatu yang tidak dimiliki oleh kekuatan dari kelompok
oposisi.[26]
5
konflik
dan dinamika interaksional
: struktur
sosial mikro
Seperti para pemikir terdahulu, perhatian Randall Collins dalam Conflict Sociology (1975) pun tetap
melihat area struktur sosial. Hanya saja, berbeda dengan struktur sosial
sebagai realitas makro (objektif) yang ditekankan para pemikir sebelumnya dan
karenanya bersifat eksternal dan memaksa individu, Collins memandang struktur
sosial sebagai realitas subyektif dan karenanya berada dalam pikiran
individu-individu –sebagai dasar bagi pola interaksi di antara mereka.
Alasannya cukup sederhana, menurut Collins, para individu-individulah sebagai
aktor sejarah yang menciptakan, dan lagi menciptakan
kembali organisasi-organisasi sosial.[27]
Akhir kesimpulan itu dapat dimengertikarena akar teoritiknya melekat
pada interaksionsme simbolik dan fenomenologi serta etnometodologi; yang
memandang bahwa manusia selalu berada
dalam satu dunia simbolik hasil konstuksi secara sosial. Ini artinya,
melalui komunikasi antara pribadi, individu-individu membentuk
defensisi-defensisi subyektif dan harapan-harapan mereka secara bersama. Karena
itu pelu untuk saling dirembukkan (dikonsensualisasikan). Pada titik inilah
akar konflik dimulai saat individu yang satu mencoba mempengaruhi defenisi
subyektif individu yang lain lewat defenisinya yang juga bersifat subyektif.
Namun demikian kajian mikro ini menjadi jauh lebih kompleks lagi saat didorong
ke arah makro menjadi: keluarga, organisasi agama, komunitas ilmiah dan lain
sebagainya. Selain itu, bertitik mula dari kajian mikro ini, Collins melakukan
satu langkah sintetik cerdas dan kreatif untuk merambahi alam pemikiran Max
Weber, Karl Marx, Emile Durkheim dan Goffman bagi keperluan membangun kerangka
teori konflik yang dibayangkannya –juga secara subyektif.
: dari Weber
Kelas, status dan kekuasaan adalah tiga pendekatan Weberian yang
diterima Collins. Menurutnya, setiap individu saling berjuang untuk memperbaiki
posisi individualitasnya dalam tiga stratifikasi sosial tersebut. Sebagaimana
Weber, Collins pun menolak perbedaan kelas secara ekonomistik sebagai
satu-satunya sumber otoritatif. Collins menegaskan bahwa perbedaan prestise
individu-individu melahirkan kelompok-kelompok status yang saling berbeda-beda;
demikian juga dengan perbedaan kekuasaan yang tercermin pada partai-partai
politik yang ada.
: dari Marx
Keberatan Collins pada pemikiran Marx terkait dengan dua hal: 1)
Marxisme seperti fungsionalisme terlalu bersifat ideologis; 2) Marxisme terlalu
berorientasi pada determinisme ekonomistik sebagai satu-satunya penentu
perubahan sejarah. Hanya saja keberatan Collins nampaknya tidak terlalu kuat
karena pada gilirannya Collins mempertimbangkannya kembali dalam kaitannya
dengan analisis stratifikasi sosialnya. Pemikiran Marx tentang alat-alat
produksi dan alat mental diperluas Collins. Melalui kontrol atas alat-alat
produksi terkait dengan sumber-sumber mental, posisi individu-individu ditentukan dalam stratifikasi sosial.
Sementara itu, terkait dengan kontrol atas alat mental, produksi mental atau
emosi dilakukan untuk melegitimasi posisi dominasi penguasa. Posisi dominasi
ini umumnya dilakukan lewat media massa dan pendidikan.
: dari Durkheim
Collins menulis bahwa “terciptanya solidaritas emosional tidak
menggantikan konflik melainkan merupakan salah satui alat utama yang digunakan
dalam konflik.”[28]
Ini artinya, solidaritas emosional (mekanik) Durkheimian digunakan untuk
melakukan analisis terhadap “produksi emosional” melalui ritus-ritus atau
upacara-upacara keagamanaan. Ritus tradisional ini adalah bentuk dominasi dalam
kelompok; sarana membentuk persekutuan, senjata perlawanan terhadap kelompok
lain, termasuk juga sebagai medium untuk menentukan hierarki prestise status
kelompok terhadap kelompok lain.
Gambaran di atas adalah hasil analisis pada masyarakat tradisional.
Pada masyarakat modern, kasusnya menjai sangat lain. Pada jenis masyarakat
seperti ini, struktur politik dan militer adalah penentu struktur
dominatif dalam kelompok lewat kontrtol
atas alat kekerasan atau kekuasaan dan paksaan untuk memberlakukan
defenisi-defenisi subyektif penguasa terhadap individu-individu mayoritas.
Hanya perlu ditekankan juga jika individu-individu yang dipaksa ini tidak
berarti selalu dalam posisi ketertundukkan. Akan selalu ada usaha untuk
melakukan perlawanan, paling tidak jika tidak untuk memenangkan
setidak-tidaknya dapat mengurangi tingkat pemaksaan yang dihadapi.
: dari Goffman
Perspektif Durkheimian tentang solidaritas ritual (mekanik) oleh
Collins dikaitkan dengan pemikiran Goffman. Goffman saat melihat kenyataan
sosial, ia menulis sebagai berikut: “kehidupan sosial itu terjalin bersama oleh
sejumlah ritus sehari-hari yang akibat kumulatifnya adalah menciptakan dan
memperkuat ikatan emosional antara manusia dan ikatan emosional dengan kelompok
atau masyarakat.”[29]
Lebih jauh lagi Goffman memandang dalam kaitannya dengan strategi-strategi yang
digunakan untuk menentukan penampilan-penampilan interaksional setiap individu
dengan menulis: “individu-individu berusaha mengontrol kesan-kesan yang
dibuatnya terhadap orang lain untuk memperoleh dukungan sosial bagi konsep
dirinya yang ideal”. Di sini, Goffman berbicara soal “proyeksi identitas diri” sebagai tujuan interaksi yang harus
dibuatkan definisi-definisi bersama, diperkuat dengan perilaku-perilaku aktual
yang menyesuaikan dengan identitas diri yang diproyeksikan. Dengan demikian
maka telealogi interaksi antara individu adalah dalam kerangka mempertahankan
definisi-definsi subyektif mereka tentang realitas sosial sehingga masyarakat
tidak lagi dipandang sebagai kenyataan obyektif melainkan definisi-definisi
kolektif hasil komunikasi antarindividu-individu. Artnya, kenyataan sosial
adalah hasil konstruksi kolektif dari definisi-definisi subyektif yang saling
dikomunikasikan untuk diciptakan dan dipertahankan lewat interaksi ritual (Yang
Mulia, Tuan Presiden, dll) setiap hari. Tepat di sini, Collins memandang
pemikiran ritus-ritus interaksi mikro Goffman memperkuat konsepsinya tentang
stratifikasi masyarakat.
: pekerjaan dan
hubungan otoritas
Okupasi (occupation) atau
pekerjaan adalah faktor utama dalam menentukan posisi kelas seseorang. Di mata
Collins, penekanan Marx pada perbedaan kelas menjadi bagian penting karena
menentukan pekerjaan sebagai sumber kehidupan individu-individu. Collins
menegaskan: “pasti perbedaan yang paling penting di antara situasi-situasi
kerja adalah hubungan kekuasaan yang terdapat di dalamnya (cara orang
memberikan dan menerima perintah). Kelas-kelas dalam pekerjaan pada intinya
merupakan kelas-kelas kekuasaan dalam dunia pekerjaan.”[30]
Berikut ini adalah gambaran tentang okupasi dalam kaitannya dengan memerintah
dan diperintah dan kaitannya dengan sifat posisi okupasionalnya oleh karena
hubungan otoritas bagi Collins adalah bentuk persebaran hierarki
berkesinambungan.
tabel.
4
hubungan
otoritas dan sifat posisi okupasi
posisi hierarki okupasi
|
hubungan otoritas
(memerintah-diperintah)
|
sifat posisi okupasi
|
atas
|
Mereka
yang memberi perintah pada yang banyak tetapi menerima perintah dari sedikit
orang atau tidak ada sama sekali
|
Menerima penghormatan dari bawahannya,
cenderung besar hati, percaya diri, ingin menguasai dalam orientasi diri,
condong berpegang pada formalitas-ritualistik karena posisinya yang dominant
|
tengah
|
Mereka yang memberi perintah pada beberap
a orang tetapi juga menerima perintah dari orang lain juga. Bagian ini paling
luas
|
Gaya hidup dan orientasi subyektif mereka
mencerminkan kedekatan mereka dengan kelas atas dan kelas bawah
|
bawah
|
Bawahan-bawahan dalam
kelas okupasional yang hanya mengerjakan jenis pekerjaan fisik
|
Memiliki suatu
budaya kelas pekerjaan tersendiri. Berorientasi masa kini
|
diolah sendiri dari karya Joyle Paul Johnson (1990)
Khusus pada kasus sifat posisi okup[asi tingkat menegah (power middle level), terdapat pula
tingkat menengah atas yang memiliki kedekatan dengan kelas atas pada soak-soal
tertentu. Perbedaan dengan tingkat paling bawah terletak pada sifat moralis
mereka, pekerja keras, sehingga sangat mungkin status hierarkis mereka menjadi
naik. Selain ini, posisi dalam suatu jaringan komunikasi juga menjadi pembeda
lain antara pemberi dan penerima perintah.
1.
Puncak
hierarki
Posisinya sentral dalam jaringan komunikasi organisasi, memiliki
kontak yang luas dengan kelompok lain di luar kelompok di mana posisi mereka
menjadi begitu dominatif; memiliki posisi kontrol terhadap sumber-sumber;
termasuk otoritasnya atas para anggota kelompok untuk dikoordinasikan.
2.
Paling
bawah
Terbatas jangkauan kontrol sosialnya, berada pada posisi pinggiran
jaringan sosialnya, bersifat local –dan karenanya tidak bersifat kosmopolis
seperti mereka yang berada pada puncak hierarki.
6
Menangani
Konflik:
Beberapa
Pendekatan Mengelola Konflik
: menuju
resolusi konflik
Pada perteuan perdana kita telah kita bedakan bahwa konflik dapat
dimengerti dalam wajah ganda: sebagai perspektif juga sebagai sebuah sengketa
terbuka di ruang sejarah –dan karenanya pada pertemuan-pertemuan sebelum ini,
konflik sebagai persepektif telah kita diskusikan, mengikuti beberapa pemikir
terpilih. Karena itulah, pada pertemuan sekarang dan pertemuan-pertemuan yang
akan datang, perhatian kita secara totalitas diarahkan pada kajian tematik
tentang resolusi konflik; sesuatu yang lebih bersifat praktis; soal ketrampilan
mengelola sebab-sebab konflik.[31]
: konflik dan
kekerasan,
dua hal yang berbeda
Di depan sudah dijelaskan ragam perspektif teoritik tentang konflik.
Hanya saja bahwa demi kepentingan praktis penting untuk ditegaskan juga
perbedaan konflik atas kekerasan mengingat batasannya menjadi begitu tipis,
bahkan tidak ada sama sekali (dianggap sama) di kalangan banyak masyarakat.
konflik
adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu/kelompok) yang
memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan;
kekerasan
adalah segala hal yang meliputi tindakan, perkataan, sikap dari
berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental,
sosial, atau lingkungan dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya
secara penuh
Penegasan pada sasaran dan perilaku sebagai akar konflik dengan
demikian dapat diterima sebuah asumsi umum yang mengatakan bahwa konflik selalu
ada sebab konflik bahkan menjadi begitu diperlukan untuk mendorong ke arah
perubahan. Asumsi-asumsi ini dapat lebih kukuh lagi dengan menampilkan aspek
mendasar dari konflik seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
tabel.
5
sasaran
dan perilaku
|
|
SASARAN
|
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||
P
E
R
I
L
A
K
U
|
perilaku yang
selaras
|
tanpa konflik
|
konflik laten
|
|||||||||||||||||||||||
perilaku yang
bertentangan
|
![]()
konflik di
permukaan
|
![]()
konflik terbuka
|
Tipe-tipe konflik itu membutuhkan intervensi untuk ditangani, bukan
ditekan sebab konflik dalam banyak kasus adalah solusi atas sebuah masalah.
Konflik yang ditekan hanya akan melahirkan masalah baru dikemudian hari –bahkan
konflik tesebut dengan mudah berubah menjadi kekerasan karena tiga alasan
berikut:
1.
saluran
dialog dan wadah untuk mengungkapkan perbedaan pendapat tidak memadai;
2.
suara-suara
ketidaksepakatan tidak didengar dan diatasi;
3.
banyak
ketidakstabilan, ketidakadilan dan ketakutan dalam masyarakat yang lebih luas.
Di sini, saat wajah konflik telah berkembang menjadi kekerasan maka
kekerasan acap kali memberikan legitimasi antara kelompok untuk saling
melenyapkan sebagai musuh. Pada titik inilah, budaya kekerasan muncul dan
berkembang karena konflik selalu ditangani secara kekerasan pula.
Pertanyaannya, lalu bagaimanan konflik seharusnya ditangani?
7
ragam
pendekatan mengelola konflik
Umumnya terdapat lima pendekatan untuk mengelola empat jenis konflik
di depan. Pendekatan-pendekatan itu kadang tidak dipandang secara terpisah
tetapi sebagai tahapan-tahapan dalam satu proses menangani konflik. Ambil
misalnya, “penyelesaian konflik” sebagai ebuah tahapan melibatkan “pencegahan
konflik” pula sebagai tahapan lain. Lima pendekatan itu secara ringkat
sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini.
tabel.
6
pendekatan
mengelola konflik
pencegahan konflik
|
:bertujuan untuk mencegah timbulnya
konflik yang keras
|
penyelesaian konflik
|
:bertujuan untuk mengakhiri perilaku
kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian
|
pengelolaan konflik
|
:bertujuan untuk membatasi dan mengakhiri
kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-paihak
yang terlibat
|
resolusi konflik
|
:tertujuan untuk menangani sebab-sebab
konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di
antara kelompok-kelompok yang bermusuhan
|
transformasi konflik
|
:bertujuan mengatasi sumber-sumber
konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan
negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif
|
diskematisasi sendiri dari karya
Melalui jenis-jenis konflik dan tipologi-tipologi pendekatan yang
terpetakan di depan, tabel berikut adalah bentuk penegasan bagaimana sebuah
pendekatan secara tepat diterapkan pada sebuah jenis konflik spesifik.
tabel.
7
jenis
konflik dan pendekatan mengelola
![]() |
|||
![]() |
|||
jenis konflik
pendekatan
|
konflik
laten
|
konflik
di permukaan
|
konflik
terbuka
|
pencegahan
konflik
|
|
|
|
penyelesaian
konflik
|
|
|
|
pengelolaan
konflik
|
|
|
|
resolusi
konflik
|
|
|
|
transformasi konflik
|
|
|
|
[1] Adam Kuper dan Jessica Kuper, The
Social Sciences Encyclopedia, terj. Indonesia oleh Haris Munandar, et. al,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 155.
[2] Dalam tradisi Marxian, misalnya, “materialisme dialektika” adalah
bentuk pemikiran filosofis yang abstrak sedangkan “materialisme historis”
adalah bentuk pemikiran interpretatif atas realitas sejarah yang terjadi. Baca Peta Pemikiran Karl Marx karya
Syamsuddin Haris.
[3] Marxian asal Itali ini menekankan pada pentingnya hegemoni cultural
sebagai bentuk dominasi. Lawannya adalah kontra-hegemoni yang didesakkan oleh
arus bawah.
[4] Mereka menekankan pada bagaimana sistem ekonomi yang pada kenyataannya
ditandai dengan ketergantungan dan ketimpangan adalah tanggung jawab kekuasaan
ekonomi, politik, dan militer untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pertukaran
yang tidak adil, ibid,.
[5] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, Sixth Edition, terj. Indonesia oleh
Alimandan, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 115-116.
[6] Sunyoto Usman, Sosiologi:
Sejarah, Teori dan Metodologi, (Jogjakarta: CIRed, 2004), h. 64.
[7] George Ritzer, Sosilogi Ilmu
Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. Indonesia oleh Alimandan, (Jakarta:
Rajawali –tahun tidak terlacak), h. 30.
[8] Selain kedua teori ini, teori lain yang masuk dalam paradigma fakta
sosial adalah teori sistem dan teori sosiologi makro. Ibid., h. 52.
[9] Ritzer dan Goodman, op,.
cit,. h. 116.
[10] Ibid,. h. 153.
[11] Ritzer, op,. cit,. h. 31.
[12] Ritzer dan Goodman, op,.
cit,. h. 153-154.
[13] Ritzer, op,. cit,. h.
31-32.
[14] Ritzer dan Goodman, op,.
cit,. h. 155-156.
[15] Ibid,. h. 156, lih.
Ritzer, op,. cit,. h. 32.
[16] Ibid,. h. 157 dan Ritzer,
ibid,. h. 33.
[17] Doyle Paul Johnson, Sociological
Theory: Classical Founders and Contemporary Perspectives, terj. Indonesia
oleh Robert M. Z. Lawang, (Jakarta: Gramedia, 1990), h. 195-196.
[18] Ibid,.
[19] Ibid., h. 198-199.
[20] Ibid., h. 201-202.
[21] Ibid., h. 202-203.
[22] Ibid., h. 205.
[23] Ibid., h. 172.
[24] Ibid., h. 173-175.
[25] Ibid., h. 180.
[26] Ibid., h. 181.
[27] Ibid., h. 27, lih. Juga
Ritzer dan Goodman, op,. cit., h.
160-161.
[28] Joyle P. Johnson, ibid., h. 207.
[29] Ibid., h. 210.
[30] Ibid., h. 211.
[31] Seluruh bagian ini didasarkan pada Simon Fisher, dkk, (2000), Mengelola Konflik: Kentrampilan dengan
Strategi Untuk Bertindak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar