PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA I. UMUM
2. Dalam kaitan susunan dan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pengaturan Desa atau disebut dengan nama lain dari segi
pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang menegaskan bahwa
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam
undangundang”. Hal itu berarti bahwa Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membuka kemungkinan adanya susunan
pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Melalui perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengakuan terhadap
kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas melalui ketentuan dalam Pasal 18B
ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Dalam sejarah pengaturan Desa,
telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965
tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya
Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pelaksanaannya, pengaturan mengenai Desa
tersebut belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa
yang hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu)
Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan
pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum
adat, kemajuan . . .
3. demokratisasi, keberagaman, partisipasi
masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan
kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat
mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang ini
disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan
masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur
dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun
demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak
ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang
berkaitan. Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community
dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang
selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi
Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas yang
hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asalusul,
terutama menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan
wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban
bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan
susunan asli. Desa Adat memiliki fungsi pemerintahan, keuangan Desa,
pembangunan Desa, serta mendapat fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah
Kabupaten/Kota. Dalam posisi seperti ini, Desa dan Desa Adat mendapat perlakuan
yang sama dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, di masa depan
Desa dan Desa Adat dapat melakukan perubahan wajah Desa dan tata kelola
penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya
guna, serta pembinaan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya.
Dalam status yang sama seperti itu, Desa dan Desa Adat diatur secara tersendiri
dalam Undang-Undang ini. Menteri yang menangani Desa saat ini adalah Menteri
Dalam Negeri. Dalam kedududukan ini Menteri Dalam Negeri menetapkan pengaturan
umum, petunjuk teknis, dan fasilitasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan
Desa, pelaksanaan Pembangunan 2. Tujuan . . .
4. Desa, pembinaan masyarakat Desa.
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan 2. Tujuan dan Asas Pengaturan a. Tujuan
Pengaturan Pemerintah negara Republik Indonesia dibentuk untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional yang merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara
Indonesia. Desa yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu
dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis
sehingga dapat menciptakan landasan yang kukuh dalam melaksanakan pemerintahan
dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Dengan
demikian, tujuan ditetapkannya pengaturan Desa dalam Undang-Undang ini
merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yaitu: 1) memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa
yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia; 2) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum
atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; 3) melestarikan dan memajukan adat,
tradisi, dan budaya masyarakat Desa; 4) mendorong prakarsa, gerakan, dan
partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna
kesejahteraan bersama;
5. 5) 6) 7) 8) 9) membentuk Pemerintahan Desa yang
profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat
perwujudan kesejahteraan umum; 6) masyarakat Desa meningkatkan ketahanan sosial
budaya meningkatkan . . . guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara
kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; memajukan perekonomian
masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. b. Asas Pengaturan Asas
pengaturan dalam Undang-Undang ini adalah: 1) rekognisi, yaitu pengakuan
terhadap hak asal usul; 2) subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala
lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa;
3) keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang
berlaku di masyarakat Desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai
bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 4) kebersamaan, yaitu semangat
untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara
kelembagaan di tingkat Desa dan unsur masyarakat Desa dalam membangun Desa; 5)
kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun Desa;
6) kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat Desa sebagai bagian dari satu
kesatuan keluarga besar masyarakat Desa; 7) musyawarah, yaitu proses
pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat Desa melalui
diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan; 8) demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian
masyarakat Desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat
Desa atau dengan persetujuan masya rakat
Desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin;
6. 9) 10) 11) 12) 13) kemandirian, yaitu suatu
proses yang dilakukan oleh 9) kemandirian . . . Pemerintah Desa dan masyarakat
Desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan
kemampuan sendiri; partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu
kegiatan; kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran; pemberdayaan,
yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat Desa melalui
penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah
dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa; dan keberlanjutan, yaitu suatu proses
yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam
merencanakan dan melaksanakan program pembangunan Desa. 3. Materi Muatan
Undang-Undang ini menegaskan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat
berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Undang-Undang ini mengatur materi mengenai Asas Pengaturan, Kedudukan dan Jenis
Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak
dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset
Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik
Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta
Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan
ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat sebagaimana diatur dalam
Bab XIII. 4. Desa dan Desa Adat Desa atau yang disebut dengan nama lain
mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan
Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang
berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya Desa . . .
7 . pengaruh adat terhadap sistem
pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya
masyarakat Desa. Desa Adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan
masyarakat lokal yang dipelihara secara turuntemurun yang tetap diakui dan
diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat Desa Adat agar dapat berfungsi
mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa Adat
memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul Desa sejak
Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat. Desa
Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis
mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar
teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa
berdasarkan hak asal usul. Pada dasarnya kesatuan masyarakat hukum adat
terbentuk berdasarkan tiga prinsip dasar, yaitu genealogis, teritorial,
dan/atau gabungan genealogis dengan teritorial. Yang diatur dalam UndangUndang
ini adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara
genealogis dan teritorial. Dalam kaitan itu, negara mengakui dan menghormati
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Implementasi dari kesatuan masyarakat hukum adat tersebut telah ada
dan hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti huta/nagori di
Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera
bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di Bali,
lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku. Di
dalam perkembangannya, Desa Adat telah berubah menjadi lebih dari 1 (satu) Desa
Adat; 1 (satu) Desa Adat menjadi Desa; lebih dari 1 (satu) Desa Adat menjadi
Desa; atau 1 (satu) Desa Adat yang juga berfungsi sebagai 1 (satu)
Desa/kelurahan. Oleh karena itu, Undang-Undang ini memungkinkan perubahan
status dari Desa atau kelurahan menjadi Desa Adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia atas prakarsa masyarakat. Demikian pula, status Desa Adat dapat
berubah menjadi Desa/kelurahan atas prakarsa masyarakat. Penetapan . . .
8. Penetapan Desa Adat untuk pertama
kalinya berpedoman pada ketentuan khusus sebagaimana diatur dalam Bab XIII
UndangUndang ini. Pembentukan Desa Adat yang baru berpedoman pada ketentuan
sebagaimana diatur dalam Bab III Undang-Undang ini. Penetapan Desa Adat
sebagaimana dimaksud di atas, yang menjadi acuan utama adalah Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia yaitu: a. Putusan Nomor 010/PUU-l/2003 perihal
Pengujian UndangUndang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UndangUndang
Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan
Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten
Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam; b. Putusan Nomor
31/PUU-V/2007 perihal Pengujian UndangUndang Nomor 31 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku; c. Putusan Nomor 6/PUU-Vl/2008
perihal Pengujian UndangUndang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan d.
Putusan Nomor 35/PUU–X/2012 tentang Pengujian UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan. Namun demikian, karena kesatuan masyarakat hukum adat yang
ditetapkan menjadi Desa Adat melaksanakan fungsi pemerintahan (local self
government) maka ada syarat mutlak yaitu adanya wilayah dengan batas yang
jelas, adanya pemerintahan, dan perangkat lain serta ditambah dengan salah satu
pranata lain dalam kehidupan masyarakat hukum adat seperti perasaan bersama,
harta kekayaan, dan pranata pemerintahan adat. 5. Kelembagaan Desa Di dalam
Undang-Undang ini diatur mengenai kelembagaan Desa/Desa Adat, yaitu lembaga
Pemerintahan Desa/Desa Adat yang terdiri atas Pemerintah Desa/Desa Adat dan
Badan Permusyawaratan Desa/Desa Adat, Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan lembaga
adat. Kepala . . .
9. Kepala Desa/Desa Adat atau yang
disebut dengan nama lain merupakan kepala Pemerintahan Desa/Desa Adat yang
memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Kepala Desa/Desa Adat atau yang
disebut dengan nama lain mempunyai peran penting dalam kedudukannya sebagai
kepanjangan tangan negara yang dekat dengan masyarakat dan sebagai pemimpin
masyarakat. Dengan posisi yang demikian itu, prinsip pengaturan tentang Kepala
Desa/Desa Adat adalah: a. sebutan Kepala Desa/Desa Adat disesuaikan dengan
sebutan lokal; b. Kepala Desa/Desa Adat berkedudukan sebagai kepala Pemerintah
Desa/Desa Adat dan sebagai pemimpin masyarakat; c. Kepala Desa dipilih secara
demokratis dan langsung oleh masyarakat setempat, kecuali bagi Desa Adat dapat
menggunakan mekanisme lokal; dan d. pencalonan Kepala Desa dalam pemilihan
langsung tidak menggunakan basis partai politik sehingga Kepala Desa dilarang
menjadi pengurus partai politik. Mengingat kedudukan, kewenangan, dan Keuangan
Desa yang semakin kuat, penyelenggaraan Pemerintahan Desa diharapkan lebih
akuntabel yang didukung dengan sistem pengawasan dan keseimbangan antara
Pemerintah Desa dan lembaga Desa. Lembaga Desa, khususnya Badan Permusyawaratan
Desa yang dalam kedudukannya mempunyai fungsi penting dalam menyiapkan
kebijakan Pemerintahan Desa bersama Kepala Desa, harus mempunyai visi dan misi
yang sama dengan Kepala Desa sehingga Badan Permusyawaratan Desa tidak dapat
menjatuhkan Kepala Desa yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat Desa. 6.
Badan Permusyawaratan Desa Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan
nama lain adalah lembaga yang melakukan fungsi pemerintahan yang anggotanya
merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan
ditetapkan secara demokratis. Badan . . .
10. Badan Permusyawaratan Desa
merupakan badan permusyawaratan di tingkat Desa yang turut membahas dan
menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Dalam
upaya meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat Desa, memperkuat kebersamaan,
serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, Pemerintah Desa
dan/atau Badan Permusyawaratan Desa memfasilitasi penyelenggaraan Musyawarah
Desa. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah forum
musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur
masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk
memusyawarahkan dan menyepakati hal yang bersifat strategis dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Hasil Musyawarah Desa dalam bentuk kesepakatan
yang dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar oleh Badan
Permusyawaratan Desa dan Pemerintah Desa dalam menetapkan kebijakan
Pemerintahan Desa. 7. Peraturan Desa Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa
setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa merupakan
kerangka hukum dan kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan
Pembangunan Desa. Penetapan Peraturan Desa merupakan penjabaran atas berbagai
kewenangan yang dimiliki Desa mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai sebuah produk hukum, Peraturan
Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak
boleh merugikan kepentingan umum, yaitu: a. terganggunya kerukunan antarwarga
masyarakat; b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik; c. terganggunya
ketenteraman dan ketertiban umum; d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa; dan e. diskriminasi terhadap suku,
agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta gender. Sebagai sebuah produk
politik, Peraturan Desa diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni
proses penyusunannya mengikutsertakan partisipasi masyarakat Desa. Masyarakat
Desa Peraturan . ..
11. mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan
masukan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam proses
penyusunan Peraturan Desa. Peraturan Desa yang mengatur kewenangan Desa
berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal Desa pelaksanaannya
diawasi oleh masyarakat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Hal itu
dimaksudkan agar pelaksanaan Peraturan Desa senantiasa dapat diawasi secara
berkelanjutan oleh warga masyarakat Desa setempat mengingat Peraturan Desa
ditetapkan untuk kepentingan masyarakat Desa. Apabila terjadi pelanggaran
terhadap pelaksanaan Peraturan Desa yang telah ditetapkan, Badan
Permusyawaratan Desa berkewajiban mengingatkan dan menindaklanjuti pelanggaran
dimaksud sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Itulah salah satu fungsi
pengawasan yang dimiliki oleh Badan Permusyawaratan Desa. Selain Badan
Permusyawaratan Desa, masyarakat Desa juga mempunyai hak untuk melakukan
pengawasan dan evaluasi secara partisipatif terhadap pelaksanaan Peraturan
Desa. Jenis peraturan yang ada di Desa, selain Peraturan Desa adalah Peraturan
Kepala Desa dan Peraturan Bersama Kepala Desa. 8. Pemilihan Kepala Desa Kepala
Desa dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk Desa warga negara Republik
Indonesia yang memenuhi persyaratan dengan masa jabatan 6 (enam) tahun
terhitung sejak tanggal pelantikan. Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3
(tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturutturut.
Sedangkan pengisian jabatan dan masa jabatan Kepala Desa Adat berlaku ketentuan
hukum adat di Desa Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan
dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan
Pemerintah. Khusus mengenai pemilihan Kepala Desa dalam Undang-Undang ini
diatur agar dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota
dengan maksud untuk menghindari hal negatif dalam pelaksanaannya. Pemilihan . .
.
12. Pemilihan Kepala Desa secara
serentak mempertimbangkan jumlah Desa dan kemampuan biaya pemilihan yang
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota sehingga
dimungkinkan pelaksanaannya secara bergelombang sepanjang diatur dalam
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sebagai akibat dilaksanakannya kebijakan
pemilihan Kepala Desa secara serentak, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai
pengisian jabatan Kepala Desa yang berhenti dan diberhentikan sebelum habis
masa jabatan. Jabatan Kepala Desa Adat diisi berdasarkan ketentuan yang berlaku
bagi Desa Adat. Dalam hal terjadi kekosongan jabatan Kepala Desa Adat,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat menetapkan penjabat yang berasal dari
masyarakat Desa Adat yang bersangkutan. 9. Sumber Pendapatan Desa Desa
mempunyai sumber pendapatan Desa yang terdiri atas pendapatan asli Desa, bagi
hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, bagian dari dana
perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota,
alokasi anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bantuan keuangan
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota, serta hibah dan sumbangan yang tidak
mengikat dari pihak ketiga. Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota kepada Desa diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan
Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Bantuan tersebut diarahkan untuk
percepatan Pembangunan Desa. Sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh
Desa berasal dari Badan Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar Desa, pengelolaan
kawasan wisata skala Desa, pengelolaan tambang mineral bukan logam dan tambang
batuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber lainnya dan tidak
untuk dijualbelikan. Bagian dari dana perimbangan yang diterima Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) setelah Alokasi .
. .
13. dikurangi Dana Alokasi Khusus
yang selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa. Alokasi anggaran untuk Desa yang
bersumber dari Belanja Pusat dilakukan dengan mengefektifkan program yang
berbasis Desa secara merata dan berkeadilan. 10. Pembangunan Desa dan Kawasan
Perdesaan Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa
dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan
pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan
potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara
berkelanjutan. Untuk itu, Undang-Undang ini menggunakan 2 (dua) pendekatan,
yaitu ‘Desa membangun’ dan ‘membangun Desa’ yang diintegrasikan dalam
perencanaan Pembangunan Desa. Sebagai konsekuensinya, Desa menyusun perencanaan
pembangunan sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan
pembangunan Kabupaten/Kota. Dokumen rencana Pembangunan Desa merupakan
satu-satunya dokumen perencanaan di Desa dan sebagai dasar penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa. Perencanaan Pembangunan Desa diselenggarakan
dengan mengikutsertakan masyarakat Desa melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Desa. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program,
kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan
masyarakat Desa. Pembangunan Desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan
masyarakat Desa dengan semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal
dan sumber daya alam Desa. Pelaksanaan program sektor yang masuk ke Desa
diinformasikan kepada Pemerintah Desa dan diintegrasikan dengan rencana
Pembangunan Desa. Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi dan melakukan
pemantauan mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa. Sejalan . . .
14. Sejalan dengan tuntutan dan
dinamika pembangunan bangsa, perlu dilakukan pembangunan Kawasan Perdesaan.
Pembangunan Kawasan Perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar-Desa dalam
satu Kabupaten/Kota sebagai upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui
pendekatan pembangunan partisipatif. Oleh karena itu, rancangan pembangunan
Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa. 11. Lembaga
Kemasyarakatan Desa Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa, seperti rukun
tetangga, rukun warga, pembinaan kesejahteraan keluarga, karang taruna, dan
lembaga pemberdayaan masyarakat atau yang disebut dengan nama lain. Lembaga
kemasyarakatan Desa bertugas membantu Pemerintah Desa dan merupakan mitra dalam
memberdayakan masyarakat Desa. Lembaga kemasyarakatan Desa berfungsi sebagai
wadah partisipasi masyarakat Desa dalam pembangunan, pemerintahan, kemasyarakatan,
dan pemberdayaan yang mengarah terwujudnya demokratisasi dan transparansi di
tingkat masyarakat serta menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif
dalam kegiatan pembangunan. 12. Lembaga Adat Desa Kesatuan masyarakat hukum
adat yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan pusat kehidupan masyarakat yang
bersifat mandiri. Dalam kesatuan masyarakat hukum adat tersebut dikenal adanya
lembaga adat yang telah tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya.
Dalam eksistensinya, masyarakat hukum adat memiliki wilayah hukum adat dan hak
atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut serta berhak dan
berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan
kehidupan masyarakat Desa berkaitan dengan adat istiadat dan hukum adat yang
berlaku. Lembaga adat Desa merupakan mitra Pemerintah Desa dan lembaga Desa
lainnya dalam memberdayakan masyarakat Desa.
15. 13. Ketentuan Khusus 13.
Ketentuan . . . Khusus bagi Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua
Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan kebijakan mengenai
pengaturan Desa di samping memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang ini juga
memperhatikan: a. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 35 Tahun 2008
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi UndangUndang; dan b. Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Desa yang
berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota dibentuk dalam sistem pemerintahan
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pasal 6 Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang
tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara Desa dan Desa Adat
dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat Desa atau
Desa Adat. Untuk . . .
16. Untuk yang sudah terjadi tumpang
tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih salah
satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Pasal 7 Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup
jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan
“perubahan status” adalah perubahan dari Desa menjadi kelurahan dan perubahan
kelurahan menjadi Desa serta perubahan Desa Adat menjadi Desa. Huruf e Yang
dimaksud dengan “penetapan Desa Adat” adalah penetapan kesatuan masyarakat
hukum adat dan Desa Adat yang telah ada untuk yang pertama kali oleh
Kabupaten/Kota menjadi Desa Adat dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal
8 Ayat (1) Pembentukan Desa dapat berupa: a. pemekaran dari 1 (satu) Desa
menjadi 2 (dua) Desa atau lebih; b. penggabungan bagian Desa dari Desa yang
bersanding menjadi 1 (satu) Desa; atau c. penggabungan beberapa Desa menjadi 1
(satu) Desa baru. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) . . .
17. Ayat (4) Cukup Ayat (5) Cukup
Ayat (6) Cukup Ayat (7) Cukup Ayat (8) Cukup jelas. jelas. jelas. jelas. jelas.
Pasal 9 Yang dimaksud dengan “program nasional yang strategis“ adalah antara
lain program pembuatan waduk atau bendungan yang meliputi seluruh wilayah Desa.
Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud
dengan “menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota”
adalah termasuk untuk memberikan dana purnatugas (pesangon) bagi Kepala Desa
dan perangkat Desa yang diberhentikan sebagai akibat perubahan status Desa
menjadi kelurahan. Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “mengubah status
kelurahan menjadi Desa” adalah perubahan status kelurahan menjadi Desa atau
kelurahan sebagian menjadi Desa dan sebagian tetap menjadi kelurahan. Hal
tersebut dilakukan dalam jangka waktu tertentu untuk menyesuaikan adanya
kelurahan yang kehidupan masyarakatnya masih bersifat perdesaan. Ayat (2) Cukup
jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 13 . . .
18. Pasal 13 Yang dimaksud dengan “kawasan yang
bersifat khusus dan strategis” seperti kawasan terluar dalam wilayah perbatasan
antarnegara, program transmigrasi, dan program lain yang dianggap strategis.
Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat
(1) Cukup jelas. Ayat (2) Pembuatan peta batas wilayah Desa harus menyertakan
instansi teknis terkait. Pasal 18 Yang dimaksud dengan “hak asal usul dan adat
istiadat Desa” adalah hak yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
kehidupan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 19
Huruf a Yang dimaksud dengan “hak asal usul” adalah hak yang merupakan warisan
yang masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan
perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi masyarakat
adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas Desa, serta kesepakatan
dalam kehidupan masyarakat Desa. Huruf b . . .
19. Huruf b Yang dimaksud dengan
“kewenangan lokal berskala Desa” adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan
efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan
prakasa masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa, tempat
pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu,
sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan Desa, embung Desa, dan jalan Desa.
Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup
jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Huruf a Yang
dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Huruf b Yang dimaksud
dengan “tertib penyelenggara pemerintahan” adalah asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara
Pemerintahan Desa. Huruf c . . .
20. Huruf c Yang dimaksud dengan
“tertib kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Huruf d Yang dimaksud
dengan “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan Pemerintahan Desa dengan tetap memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Huruf e Yang dimaksud dengan “proporsionalitas”
adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Huruf f Yang dimaksud dengan
“profesionalitas” adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf g Yang dimaksud dengan
“akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat Desa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Huruf h Yang dimaksud dengan “efektivitas” adalah asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan harus berhasil mencapai
tujuan yang diinginkan masyarakat Desa. Yang dimaksud dengan “efisiensi” adalah
asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan harus tepat sesuai
dengan rencana dan tujuan. Huruf i Yang dimaksud dengan “kearifan lokal” adalah
asas yang menegaskan bahwa di dalam penetapan kebijakan harus memperhatikan
kebutuhan dan kepentingan masyarakat Desa. Huruf j . . .
21. Huruf j Yang dimaksud dengan
“keberagaman” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang tidak boleh
mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu. Huruf k Yang dimaksud dengan
“partisipatif” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang mengikutsertakan
kelembagaan Desa dan unsur masyarakat Desa. Pasal 25 Penyebutan nama lain untuk
Kepala Desa dan perangkat Desa dapat menggunakan penyebutan di daerah
masing-masing. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Jaminan kesehatan yang
diberikan kepada Kepala Desa diintegrasikan dengan jaminan pelayanan yang
dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup
jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 . . .
22. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Pemberitahuan Badan Permusyawaratan
Desa kepada Kepala Desa tentang akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa
tembusannya disampaikan kepada Bupati/Walikota. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “tokoh masyarakat” adalah tokoh
keagamaan, tokoh adat, tokoh pendidikan, dan tokoh masyarakat lainnya. Pasal 33
Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Cukup Ayat (2) Cukup Ayat (3) Cukup Ayat (4)
Cukup Ayat (5) Cukup jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. Ayat (6) . . .
23. Ayat (6) Biaya pemilihan Kepala Desa yang
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota adalah
untuk pengadaan surat suara, kotak suara, kelengkapan peralatan lainnya, honorarium
panitia, dan biaya pelantikan. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas.
Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Yang dimaksud dengan
“terhitung sejak tanggal pelantikan” adalah seseorang yang telah dilantik
sebagai Kepala Desa maka apabila yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum
habis masa jabatannya dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6
(enam) tahun. Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk
mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu,
Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali
hanya 1 (satu) kali masa jabatan. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . .
24. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan
“berakhir masa jabatannya” adalah apabila seorang Kepala Desa yang telah
berakhir masa jabatannya 6 (enam) tahun terhitung tanggal pelantikan harus
diberhentikan. Dalam hal belum ada calon terpilih dan belum dapat dilaksanakan
pemilihan, diangkat penjabat. Huruf b Yang dimaksud dengan “tidak dapat
melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap” adalah apabila
Kepala Desa menderita sakit yang mengakibatkan, baik fisik maupun mental, tidak
berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang
berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas.
Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45
Cukup jelas. Pasal 46 . . .
25. Pasal 46 Ayat (1) Yang dimaksud
dengan “tidak lebih dari 1 (satu) tahun” adalah 1 (satu) tahun atau kurang.
Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat
(3) Yang dimaksud dengan ”musyawarah Desa” adalah musyawarah yang diselenggarakan
oleh Badan Permusyawaratan Desa khusus untuk pemilihan Kepala Desa antarwaktu
(bukan musyawarah Badan Permusyawaratan Desa), yaitu mulai dari penetapan
calon, pemilihan calon, dan penetapan calon terpilih. Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Masa jabatan Kepala Desa yang dipilih melalui Musyawarah Desa
terhitung sejak yang bersangkutan dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat
yang ditunjuk. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Camat” adalah Camat atau yang
disebut dengan nama lain. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51
. . .
26. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas.
Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Musyawarah Desa merupakan forum
pertemuan dari seluruh pemangku kepentingan yang ada di Desa, termasuk
masyarakatnya, dalam rangka menggariskan hal yang dianggap penting dilakukan
oleh Pemerintah Desa dan juga menyangkut kebutuhan masyarakat Desa. Hasil ini
menjadi pegangan bagi perangkat Pemerintah Desa dan lembaga lain dalam
pelaksanaan tugasnya. Yang dimaksud dengan “unsur masyarakat” adalah antara
lain tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan
kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok perajin, kelompok perempuan, dan
kelompok masyarakat miskin. Ayat (2) Huruf a Dalam hal penataan Desa,
Musyawarah Desa hanya memberikan pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup
jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4) . . .
27. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas.
Pasal 56 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dilakukan secara demokratis” adalah
dapat diproses melalui proses pemilihan secara langsung dan melalui proses
musyawarah perwakilan. Ayat (2) Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa
terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 57
Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas.
Pasal 61 Huruf a Yang dimaksud dengan “meminta keterangan” adalah permintaan
yang bersifat informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat Desa, bukan
dalam rangka laporan pertanggungjawaban Kepala Desa. Huruf b Cukup jelas. Huruf
c Cukup jelas. Pasal 62 . . .
28. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63
Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Jaminan
kesehatan yang diberikan kepada Kepala Desa dan perangkat Desa diintegrasikan
dengan jaminan pelayanan yang dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Sebelum program Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial menjangkau ke tingkat Desa, jaminan kesehatan dapat dilakukan melalui
kerja sama Kabupaten/Kota dengan Badan Usaha Milik Negara atau dengan
memberikan kartu jaminan kesehatan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah
masing-masing yang diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ayat (5)
Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas.
Pasal 70 . . .
29. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas.
Pasal 72 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pendapatan asli Desa” adalah
pendapatan yang berasal dari kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan
kewenangan skala lokal Desa. Yang dimaksud dengan “hasil usaha” termasuk juga
hasil BUM Desa dan tanah bengkok. Huruf b Yang dimaksud dengan “Anggaran
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tersebut” adalah anggaran
yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan
kemasyarakatan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “lain-lain pendapatan Desa
yang sah” adalah antara lain pendapatan sebagai hasil kerja sama dengan pihak
ketiga dan bantuan perusahaan yang berlokasi di Desa. Ayat (2) Besaran alokasi
anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh
perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap.
Anggaran . . .
30. Anggaran yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung berdasarkan jumlah Desa dan
dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas
wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa. (3) Cukup jelas. (4) Cukup
jelas. (5) Cukup jelas. (6) Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Ayat
(1) Dalam penetapan belanja Desa dapat dialokasikan insentif kepada rukun
tetangga (RT) dan rukun warga (RW) dengan pertimbangan bahwa RT dan RW walaupun
sebagai lembaga kemasyarakatan, RT dan RW membantu pelaksanaan tugas pelayanan
pemerintahan, perencanaan pembangunan, ketertiban, dan pemberdayaan masyarakat
Desa. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tidak terbatas” adalah kebutuhan
pembangunan di luar pelayanan dasar yang dibutuhkan masyarakat Desa. Yang
dimaksud dengan “kebutuhan primer” kebutuhan pangan, sandang, dan papan. adalah
Yang dimaksud dengan “pelayanan dasar” adalah antara lain pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur dasar. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) . . .
31. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Yang dimaksud dengan “sumbangan” adalah termasuk tanah wakaf sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78
Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas.
Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 . . .
32. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas.
Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Ayat (1) BUM Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa
untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta
potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa secara spesifik tidak dapat disamakan
dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, CV, atau koperasi. Oleh karena
itu, BUM Desa merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam
pelaksanaan kegiatannya di samping untuk membantu penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa. BUM Desa juga dapat
melaksanakan fungsi pelayanan jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi
lainnya. Dalam meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa dapat menghimpun
tabungan dalam skala lokal masyarakat Desa, antara lain melalui pengelolaan
dana bergulir dan simpan pinjam. BUM Desa dalam kegiatannya tidak hanya
berorientasi pada keuntungan keuangan, tetapi juga berorientasi untuk mendukung
peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa diharapkan dapat
mengembangkan unit usaha dalam mendayagunakan potensi ekonomi. Dalam hal
kegiatan usaha dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan
pada saatnya BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)
33. Cukup jelas. Pasal 88 . . . Pasal 88 Cukup
jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang
dimaksud dengan “pendampingan” adalah termasuk penyediaan sumber daya manusia
pendamping dan manajemen. Huruf c Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92
Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas.
Pasal 96 Penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dan Desa Adat yang sudah ada
saat ini menjadi Desa Adat hanya dilakukan untuk 1 (satu) kali. Pasal 97
Ketentuan ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu: a. Putusan
Nomor 010/PUU-l/2003 perihal Pengujian UndangUndang Nomor 11 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas Kabupaten . . .
34. Undang-Undang Nomor 53 Tahun
1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten
Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten
Kuantan Singingi, dan Kota Batam; b. Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 perihal
Pengujian UndangUndang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di
Provinsi Maluku; c. Putusan Nomor 6/PUU-Vl/2008 perihal Pengujian UndangUndang
Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan
Kabupaten Banggai Kepulauan; dan d. Putusan Nomor 35/PUU–X/2012 tentang
Pengujian UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 98 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penetapan Desa Adat” adalah penetapan untuk pertama
kalinya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Ayat (1)
Perubahan status Desa Adat menjadi kelurahan harus melalui Desa, sebaliknya
perubahan status kelurahan menjadi Desa Adat harus melalui Desa. Ayat (2) Cukup
jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Huruf a Yang
dimaksud dengan “susunan asli” adalah sistem organisasi kehidupan Desa Adat
yang dikenal di wilayah masing-masing.
35. Huruf b . . . Yang dimaksud dengan “ulayat
atau wilayah adat” adalah wilayah kehidupan suatu kesatuan masyarakat hukum
adat. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f
Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 104 Yang dimaksud dengan “keberagaman”
adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat yang tidak boleh mendiskriminasi
kelompok masyarakat tertentu. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas.
Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110
Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 . . .
36. Pasal 112 Ayat (1) Pemerintah
dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri yang melakukan pembinaan umum
penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Pemerintah Daerah Provinsi dalam hal ini
adalah Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)
Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri yang melakukan
pemberdayaan masyarakat. Pemerintah Daerah Provinsi dalam hal ini adalah
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Ayat (4) Yang dimaksud dengan
“pendampingan” adalah termasuk penyediaan sumber daya manusia pendamping dan
manajemen. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Huruf a
Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Yang dimaksud dengan “pengawasan” adalah termasuk di dalamnya pembatalan
Peraturan Desa. Huruf f Cukup jelas. Huruf g
37. Cukup Huruf h Cukup Huruf i Cukup Huruf j
Cukup Huruf k Cukup Huruf l Cukup Huruf m Cukup Huruf n Cukup jelas. jelas.
Huruf h . . . jelas. jelas. jelas. jelas. jelas jelas. Pasal 116 Ayat (1) Cukup
jelas. Ayat (2) Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
sebelum Undang-Undang ini, yang diakui adalah Desa. Oleh sebab itu, dengan
berlakunya Undang-Undang ini diberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota untuk menata kembali status Desa menjadi Desa atau Desa Adat
dengan ketentuan tidak boleh menambah jumlah Desa. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat
(4) Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup
jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 . . .
38. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5495
Tidak ada komentar:
Posting Komentar